Tampilkan postingan dengan label Kelas 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kelas 11. Tampilkan semua postingan
Apa itu Ketahanan Pangan? Pilar dan Strategi Pemerintah Indonesia

Apa itu Ketahanan Pangan? Pilar dan Strategi Pemerintah Indonesia

Ketahanan pangan adalah tersedianya bahan pangan yang cukup, sehat, beragam, dan bergizi untuk setiap orang atau keluarga. Tiga pilar ketahanan pangan, yakni Pilar Ketersediaan, Pilar Aksesbilitas, dan Pilar Konsumsi atau Pemanfaatan Pangan.



Pengertian Ketahanan Pangan, Pilar dan Strategi Pemerintah Indonesia
Apa saja pilar ketahanan pangan?
Apa yang dimaksud dengan 4 pilar ketahanan pangan?
Bagaimana ketahanan pangan di Indonesia saat ini?



UU No. 18/2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 


Di tingkat Internasional, ketahanan pangan tak dapat luput dari Deklarasi Roma pada tahun 1996 yang mana pada deklarasi tersebut Kepala Negara dan Pemerintah berkumpul di KTT Pangan Dunia atas undangan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, menegaskan kembali hak setiap orang untuk memiliki akses pada makanan yang aman dan bergizi, sesuai dengan hak atas kecukupan pangan dan hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan. 


Untuk mewujudkan ketahanan pangan, ada tiga pilar penting yang harus diperhatikan, berikut menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 13 No. 1 Juli 2012: 



1. Pilar Ketersediaan 


Ketersediaan yang dimaksud adalah ketersediaan fisik pangan di seluruh wilayah Indonesia yang diperoleh baik itu dari hasil produksi domestik, impor, atau perdagangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten, atau tingkat masyarakat. 



2. Pilar Aksesibilitas 


Akses yang dimaksud adalah kemampuan seluruh rumah tangga di Indonesia untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin saja mencukupi, tapi hal ini tidak menjamin seluruh rumah tangga mendapatkan akses pangan yang memadai dan beragam. 



3. Pilar Konsumsi atau Pemanfaatan Pangan 


Pada pilar ini yang dimaksud adalah penggunaan pangan oleh seluruh rumah tangga dan kemampuan masing-masing individu untuk mengkonsumsi pangan dan menyerap zat gizi. 


Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi kebersihan, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui, dan lain-lain), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

Potensi Geografis Indonesia untuk Ketahanan Pangan Nasional

Potensi Geografis Indonesia untuk Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan dan hak atas pangan adalah bagian dari hak asasi manusia. Ketersediaan pangan yang cukup dan berkualitas adalah aspek penting dalam menjaga stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Empat faktor penting yang memengaruhi ketahanan pangan di Indonesia, yakni lahan, iklim, teknologi, dan infrastruktur.


Potensi Geografis Indonesia untuk Ketahanan Pangan Nasional
Kondisi geografis untuk ketahanan pangan Indonesia
Apa potensi geografi yang dimiliki Indonesia?
Apa itu ketahanan pangan geografi?
Apakah ketahanan pangan berkaitan ketahanan nasional?


Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah pangan, dan hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, keberadaan ketahanan pangan suatu negara sangat penting untuk memastikan kebutuhan pangan setiap warganya terpenuhi.


Pentingnya pangan dalam kehidupan suatu bangsa tidak bisa diabaikan. Ketidaksesuaian antara ketersediaan pangan dan kebutuhan dapat memicu ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik. Ketahanan pangan yang rendah dapat mengancam stabilitas nasional.


Menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang pangan, ketahanan pangan adalah "kondisi di mana pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, memiliki kualitas yang baik, aman, beragam, bergizi, merata, terjangkau, dan sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat, sehingga setiap individu dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan."


Menurut modul ajar Geografi dari Kemendikbud, definisi ketahanan pangan telah berkembang sejak Conference of Food and Agriculture pada tahun 1943. Definisi ini mencakup aspek ketersediaan, aksesibilitas, konsumsi pangan, dan dampaknya pada kesehatan dan produktivitas individu serta rumah tangga.


Perlu diperjelas bahwa ketahanan pangan berbeda dengan konsep swasembada pangan. Menurut FAO pada tahun 1999, suatu negara dianggap swasembada jika mereka mampu memproduksi hingga 90% dari kebutuhan pangan nasional mereka. Swasembada berarti negara dapat memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri, bahkan dengan potensi untuk mengekspor ke negara lain.


Sementara itu, ketahanan pangan lebih fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan, termasuk melalui impor. Indonesia memiliki potensi geografis untuk mencapai ketahanan pangan nasional dengan dukungan sumber daya alam, teknologi, dan infrastruktur yang memadai.


Potensi geografis Indonesia dalam mendukung ketahanan pangan melibatkan beberapa faktor kunci:


  1. Lahan: Ketersediaan lahan yang cukup untuk pertanian sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan suatu negara.
  2. Iklim dan Cuaca: Kondisi iklim dan cuaca memengaruhi produksi pangan. Tanaman dan hewan memerlukan kondisi iklim tertentu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
  3. Teknologi: Penggunaan teknologi dalam pertanian dan pengolahan pangan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas pangan.
  4. Infrastruktur: Infrastruktur yang baik, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia, membantu dalam distribusi dan konektivitas yang efisien dalam penyediaan sumber daya pangan.


Tantangan ketahanan pangan juga muncul dari faktor sosial, geografis, dan kultural, yang mempengaruhi kemampuan adaptasi manusia terhadap perubahan lingkungan. Menurut Indeks Ketahanan Pangan yang dirilis oleh BKP Kementerian Pertanian tahun 2019, wilayah Indonesia bagian barat dan tengah memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah timur. 

Bentuk Adaptasi Bencana Alam, Non-Alam, dan Sosial

Bentuk Adaptasi Bencana Alam, Non-Alam, dan Sosial

Adaptasi bencana adalah serangkaian langkah atau tindakan untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup dengan menyesuaikan lingkungan sekitar. Pola adaptasi muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada cara manusia mengubah perilaku mereka sesuai dengan kondisi lingkungan. Adapun bentuk adaptasi yang muncul bervariasi sesuai dengan jenis bencana karakteristik masyarakat yang berbeda-beda.



Bentuk Adaptasi Bencana Alam, Non-Alam, dan Sosial
Apa yang dimaksud adaptasi bencana?
Apa saja jenis-jenis bencana?
Langkah adaptasi bencana?


Mengingat kita tinggal di daerah rawan bencana, penting untuk melakukan adaptasi terhadap potensi bencana guna menjaga kelangsungan hidup. Kemampuan kita untuk beradaptasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas yang kita miliki, struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat, dan ketersediaan teknologi.



Adaptasi Bencana Alam



Berikut adalah beberapa contoh adaptasi terkait bencana alam yang terjadi di Indonesia:



1. Adaptasi Bencana Gempa Bumi



Adaptasi bencana gempa bumi yakni perubahan dalam bentuk dan konstruksi bangunan permukiman yang sesuai dengan syarat dan standar kelayakan hunian. Salah satu strategi adaptasi fisik yang paling jelas adalah perubahan konstruksi rumah untuk menghadapi potensi gempa bumi.


Adaptasi juga mencakup upaya masyarakat untuk memastikan ketahanan mereka dalam hal pangan. Salah satu langkah adaptasi ini adalah dengan membangun "living food bank," di mana tanaman palawija, kelapa, jengkol, rambutan, pisang, ubi kayu, ubi jalar, dan sejenisnya ditanam. Tujuannya adalah agar jika suatu saat terjadi gempa, masyarakat tetap memiliki persediaan pangan yang cukup untuk bertahan.



2. Adaptasi Bencana Tsunami



Upaya adaptasi dalam menghadapi bencana tsunami mencakup berbagai langkah, di antaranya:


  1. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat di wilayah pesisir yang memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait bencana tsunami diaktifkan untuk berpartisipasi. Mereka dapat memberikan wawasan yang berharga dalam perencanaan dan penanganan bencana.
  2. Pembangunan Breakwater: Pembangunan tembok pemecah gelombang atau breakwater bertujuan untuk mengurangi dampak gelombang tsunami dan melindungi pesisir.
  3. Penunjuk Jalur Evakuasi: Pemasangan papan penunjuk jalur evakuasi dan rambu-rambu yang menandai arus balik di pantai membantu masyarakat dalam menemukan rute yang aman saat terjadi tsunami.
  4. Pembangunan Seawall: Pembangunan tanggul laut atau seawall menjadi langkah penting dalam menjaga ketahanan pesisir terhadap serangan tsunami.
  5. Sosialisasi Evakuasi: Masyarakat diberikan edukasi secara berkala tentang rawan bencana, konsep desa tangguh bencana, dan pembentukan kelompok siaga bencana. 


Partisipasi masyarakat bukan hanya berperan dalam tahap perencanaan, tetapi juga dalam proses rehabilitasi dan saat bencana terjadi. Kesadaran dan keterlibatan masyarakat adalah elemen fundamental dalam mitigasi bencana tsunami.



3. Adaptasi Bencana Gunung Meletus



Masyarakat memiliki beberapa opsi untuk beradaptasi dengan ancaman bencana gunung meletus. Salah satu cara yang dapat diambil adalah dengan memperkuat infrastruktur rumah, seperti membangun rumah yang kokoh, dengan dinding yang tebal dan atap yang tahan terhadap hujan dan abu vulkanik. Selain itu, masyarakat juga sebaiknya menggunakan masker dan berpakaian tebal agar terlindungi dari cuaca dingin di pegunungan serta potensi paparan abu vulkanik.



4. Adaptasi Bencana Tanah Longsor



Dalam upaya menghadapi bencana tanah longsor, kita dapat menerapkan konsep yang dijelaskan oleh Berry John (1980), yang mencakup tiga jenis adaptasi: adaptasi melalui reaksi (adaptation by reaction), adaptasi melalui penyesuaian (adaptation by adjustment), dan adaptasi melalui perubahan lingkungan (adaptation by withdrawal).


a. Adaptasi Melalui Reaksi (Adaptation by Reaction): Salah satu cara untuk mengatasi tanah longsor adalah dengan melakukan adaptasi melalui reaksi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam pohon di daerah yang berpotensi terkena tanah longsor. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko tanah longsor dengan mengkonsolidasikan tanah dan mencegah erosi.


b. Adaptasi Melalui Penyesuaian (Adaptation by Adjustment): Strategi adaptasi lainnya adalah dengan mengubah perilaku masyarakat terhadap lingkungannya agar lebih sesuai dan aman. Hal ini melibatkan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya tanah longsor, serta mengajarkan tindakan pencegahan dan respons yang tepat dalam situasi tersebut.


c. Adaptasi Melalui Perubahan Lingkungan (Adaptation by Withdrawal): Salah satu langkah ekstrem dalam adaptasi terhadap tanah longsor adalah dengan meninggalkan daerah yang rawan dan beralih ke tempat tinggal yang lebih aman. Hal ini merupakan tindakan terakhir jika risiko tanah longsor sangat tinggi dan tidak dapat diatasi dengan cara lain.



5. Adaptasi Bencana Banjir



Adaptasi terhadap ancaman bencana banjir mencakup perbaikan, rekayasa, dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Ada beberapa bentuk adaptasi yang telah diterapkan dalam menghadapi banjir.


a. Adaptasi Aktif: Strategi ini mengoptimalisasi peran manusia dalam menghadapi dinamika lingkungan. Contohnya menjadi tukang ojek perahu, meningkatkan pondasi atau lantai rumah, membangun rumah bertingkat, dan meningkatkan perlengkapan rumah tangga dengan berbagai teknik khusus.


b. Adaptasi Pasif: Strategi ini mengubah perilaku manusia sesuai dengan perubahan lingkungan yang bersifat pasif. Sebagai contoh, masyarakat memperoleh pengetahuan tentang prediksi musim hujan yang berpotensi menyebabkan banjir, sehingga mereka dapat melakukan persiapan. 


c. Adaptasi Sosial: Ketika menghadapi bencana banjir, masyarakat sering menunjukkan adaptasi sosial dengan cara gotong royong dan meningkatkan solidaritas antar warga. Hal ini mencakup berbagi makanan, membantu dalam upaya evakuasi, perbaikan rumah, pembuatan pos pengungsian, dapur umum, dan lainnya.


d. Adaptasi Ekonomi: Dalam menghadapi banjir, masyarakat melakukan adaptasi ekonomi dengan menerima bantuan gratis dari lembaga sosial, seperti makanan dan pakaian. Untuk mengurangi kerugian dan kerusakan pada peralatan rumah tangga, barang-barang berharga ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi agar tidak terendam banjir.


e. Adaptasi Budaya: Saat bencana banjir melanda, masyarakat sering mengadakan tahlilan dan doa bersama. Beberapa kelompok masyarakat masih menjalankan tradisi sedekah bumi sebagai bentuk adat yang dijaga hingga sekarang. Selain itu, pembangunan floodway atau saluran pembuangan air juga digunakan untuk mengurangi risiko banjir.



6. Adaptasi Bencana Rob



Banjir rob adalah fenomena naiknya permukaan laut atau air laut ke daratan. Terdapat beberapa langkah adaptasi yang dapat diambil untuk menghadapi bencana banjir rob, yakni:


1. Adaptasi di Sekitar Tempat Tinggal


Adaptasi ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti meninggikan lantai dan atap rumah, membangun rumah bertingkat, menguruk tanah untuk menghambat air masuk, serta membangun talud sepanjang jalan untuk mencegah air merambah ke dalam rumah. Selain itu, barang-barang rumah tangga seperti pipa distribusi air bersih dapat ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi untuk menghindari terendam air.


2. Adaptasi di Lahan Tambak


Pada lahan tambak, adaptasi dapat dilakukan dengan meninggikan tanggul tambak dan pemasangan jaring pengaman di sekitarnya. Tanggul tambak dibangun untuk mencegah air dan hewan-hewan tambak meluap ke jalan-jalan dan wilayah sekitarnya.


3. Adaptasi Sosial


Dalam menghadapi banjir rob, masyarakat dapat melibatkan diri dalam kegiatan gotong royong, seperti bekerja sama dalam pembangunan jalan yang lebih tinggi, pemasangan pompa penyedot banjir rob, dan perbaikan fasilitas umum lainnya.


4. Adaptasi Ekonomi


Masyarakat juga perlu mempertimbangkan adaptasi ekonomi. Hal ini berarti beralih dari mata pencaharian sebelumnya, seperti petani tambak dan nelayan, ke pekerjaan lain di luar wilayah tempat tinggal mereka, seperti menjadi buruh, pedagang, atau berbagai pekerjaan lain yang mampu memungkinkan adaptasi ekonomi.


5. Adaptasi Budaya


Penting untuk mempertahankan dan memperkuat budaya gotong-royong dan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat. Hal ini akan menjadi kekuatan tambahan dalam menjaga solidaritas dan kerja sama dalam menghadapi bencana banjir rob, di mana saling membantu adalah kunci untuk bertahan.



7. Adaptasi Bencana Kekeringan



Bencana kekeringan berkaitan erat dengan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan, seperti pemenuhan kebutuhan pokok, pertanian, aktivitas ekonomi, dan kelestarian lingkungan. 


a. Meningkatkan Kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS): Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkuat fungsi DAS sebagai area yang mampu menyerap dan mempertahankan air, sehingga dapat menjaga ketersediaan air yang lebih stabil.


b. Pembangunan, Pengelolaan, dan Rehabilitasi Infrastruktur Air Besar: Hal ini mencakup pembangunan dan pengelolaan bendungan, dam, waduk, serta reservoir dengan kapasitas besar yang dapat mengatasi fluktuasi aliran air musiman. Pemanfaatan teknologi seperti pemantauan satelit dan prakiraan cuaca juga dapat mendukung pengelolaan yang lebih efektif.


c. Pengembangan Teknologi Irigasi Baru: Penggunaan teknologi irigasi modern seperti spray dan drip irrigation tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga membantu dalam penghematan air.


d. Penyelenggaraan Program Kampanye Hemat Air: Edukasi masyarakat mengenai pengelolaan air yang efisien sangat penting. Melalui program kampanye, masyarakat diajak untuk mengurangi pemborosan air dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan air domestik agar lebih bijaksana.



8. Adaptasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan



Setiap komunitas memiliki cara tersendiri dalam menyesuaikan diri saat menghadapi bencana. Dalam konteks ini, kita akan membahas adaptasi bencana yang dilakukan oleh masyarakat di daerah yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, seperti yang terjadi di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti. 


a. Adaptasi Fisik: Masyarakat melakukan adaptasi fisik dengan cara membangun sekat kanal dan embung di lahan mereka. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menyimpan air sebagai cadangan yang dapat digunakan untuk kebutuhan pertanian dan sebagai langkah pencegahan saat terjadi kebakaran hutan.


b. Adaptasi Ekonomi: Dalam rangka mencari sumber pendapatan, masyarakat Desa Sungai Tohor terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan. Mereka bertani, menjadi buruh potong, dan buruh angkut tual sagu sebagai upaya untuk mencapai kemandirian ekonomi.


c. Adaptasi Struktural: Masyarakat Desa Sungai Tohor aktif berkolaborasi dengan pemerintah dan lembaga-lembaga desa untuk menjalankan berbagai program ramah lingkungan, terutama terkait dengan pelestarian gambut. Kerjasama ini bertujuan untuk mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan.


d. Adaptasi Kultural: Sebagai bagian dari budaya mereka, masyarakat Desa Sungai Tohor menghindari praktik membuka lahan dengan cara membakar, yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. 



9. Adaptasi Bencana Puting Beliung



Puting beliung memiliki potensi merusak yang dapat menyebabkan kerugian jiwa, harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis yang serius. Untuk mengurangi risiko akibat puting beliung, penting untuk mengambil langkah-langkah adaptasi yang melibatkan peningkatan struktur fisik bangunan tempat tinggal, serta peningkatan kemampuan dan pengetahuan dalam menghadapi bencana puting beliung



Adaptasi Bencana Non Alam



1. Adaptasi Bencana Wabah Penyakit



Wabah penyakit adalah fenomena penyebaran penyakit yang luas dan menular di antara penduduk. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-14, Eropa mengalami pandemi besar yang dikenal sebagai "black death" dan mengakibatkan kematian sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Saat ini, dunia dihadapkan pada pandemi penyakit Covid-19, yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Pandemi ini tidak terbatas pada satu wilayah saja, melainkan telah menyebar ke berbagai negara yang jauh dari pusat wabah.


Untuk menjaga produktivitas selama pandemi, masyarakat telah mengadopsi kebiasaan baru dengan menerapkan perilaku pencegahan penularan Covid-19. Beberapa adaptasi ini meliputi:


  1. Selalu menggunakan masker saat keluar rumah.
  2. Menghindari menyentuh mata, hidung, dan mulut sebelum mencuci tangan.
  3. Menjaga jarak fisik 1-2 meter.
  4. Rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
  5. Membawa hand sanitizer saat bepergian.
  6. Mengonsumsi makanan bergizi untuk menjaga sistem kekebalan tubuh.
  7. Melakukan olahraga secara teratur.



2. Adaptasi Bencana Kegagalan Teknologi



Selain wabah penyakit, kegagalan teknologi juga merupakan jenis bencana non-alam. Kegagalan teknologi disebabkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian, atau tindakan manusia dalam penggunaan teknologi dan industri. Untuk mengurangi risiko bencana akibat kegagalan teknologi, beberapa adaptasi yang dapat dilakukan meliputi:


  1. Membatasi dan mengurangi kapasitas penyimpanan bahan kimia berbahaya dan mudah terbakar.
  2. Meningkatkan standar keselamatan pabrik dan desain peralatan.
  3. Membuat prosedur operasi penyelamatan dalam kasus kecelakaan teknologi.



3. Adaptasi Bencana Kegagalan Modernisasi



Kegagalan modernisasi juga merupakan bencana non-alam. Untuk menghadapi kegagalan modernisasi, adaptasi yang dapat dilakukan meliputi: Melakukan pembangunan yang merata, sehingga daerah tertinggal juga mendapatkan akses dan fasilitas yang sama dengan daerah yang sudah maju.



Adaptasi Bencana Sosial



Adaptasi yang dapat dilakukan saat menghadapi bencana sosial mencakup langkah-langkah seperti memperkuat semangat gotong royong, meningkatkan rasa nasionalisme, dan aktif melibatkan peran orang tua serta lembaga pendidikan. Upaya ini bertujuan sebagai langkah preventif untuk menghindari terjadinya tindakan kriminal dan untuk mencegah warga terlibat dalam perilaku kejahatan. Selain itu, masyarakat juga berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai norma melalui pendidikan multikultural yang diterapkan dalam berbagai konteks, seperti di sekolah, dalam kegiatan pengajian, serta melalui berbagai organisasi yang ada dalam lingkungan masyarakat.


Apa itu Mitigasi Bencana? Berikut Pengertian, Tujuan, dan Jenis-Jenisnya

Apa itu Mitigasi Bencana? Berikut Pengertian, Tujuan, dan Jenis-Jenisnya

Mitigasi bencana adalah serangkaian tindakan yang mencakup upaya, strategi, kebijakan, serta kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana. Mitigasi bencana dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural. Mitigasi struktural melibatkan tindakan fisik dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan mitigasi non-struktural berfokus pada pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam mengurangi risiko bencana.



Pengertian, Tujuan, Jenis-Jenis Mitigasi Bencana
Jelaskan apa mitigasi bencana?
Mitigasi bencana ada apa aja?
Apa bentuk mitigasi untuk bencana alam?


Ancaman bencana di negara kita sangat besar dan beragam. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana telah berhasil meminimalkan dampak atau kerugian yang ditimbulkan. Contohnya, pada tahun 2018, ketika terjadi gempa bumi di desa adat Lombok. Desa-desa adat tersebut telah memiliki sistem mitigasi bencana yang tepat, sehingga dampak kerugiannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain yang terkena gempa.



Pengertian Mitigasi Bencana



Mitigasi bencana adalah serangkaian tindakan yang mencakup upaya, strategi, kebijakan, serta kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana. Proses mitigasi dapat diwujudkan melalui berbagai pendekatan, seperti penyuluhan, pembangunan infrastruktur fisik, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Selain itu, upaya mitigasi bencana ini melibatkan sejumlah sektor yang luas, termasuk ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik.



Tujuan Mitigasi Bencana



Mitigasi bencana memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, adalah untuk mengurangi dampak kerugian yang timbul akibat bencana, termasuk mengurangi korban jiwa, minimalisasi kerusakan lingkungan, dan perlindungan terhadap kehidupan manusia. Kedua, melalui upaya mitigasi, kita dapat meningkatkan pemahaman tentang situasi sebelum, selama, dan setelah bencana, sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih aman dan siap menghadapi ancaman tersebut. 


Ketiga, mitigasi bencana juga berperan sebagai panduan penting dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembangunan wilayah, membantu pemerintah dan masyarakat untuk mengambil kebijakan yang lebih bijaksana dalam membangun dan mengelola lingkungan mereka.



Jenis Mitigasi Bencana



Mitigasi bencana dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural. Mitigasi struktural melibatkan tindakan fisik dan pengembangan infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana. Hal ini meliputi upaya pembangunan prasarana fisik serta penggunaan teknologi terbaru dalam menghadapi ancaman bencana. 


Sementara itu, mitigasi non-struktural berfokus pada pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam mengurangi risiko bencana. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tindakan yang dapat diambil untuk melindungi diri mereka sendiri dan komunitas mereka dari potensi bahaya bencana.



Mitigasi untuk Jenis-Jenis Bencana



1. Mitigasi Tsunami



Kegiatan mitigasi bencana tsunami dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi risiko dan dampak dari bencana tsunami. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil dalam rangka mitigasi bencana tsunami:


  1. Penanaman Mangrove (Bakau): Penanaman mangrove di sepanjang pantai dilakukan untuk meredam gelombang tsunami.
  2. Pemberian Pengetahuan Terkait Data Gempa: Meningkatkan pengetahuan terkait data gempa yang memiliki potensi untuk memicu tsunami. Data ini mencakup gempa dengan pusat getaran di laut dangkal (0-30 km), dengan kekuatan minimal 6,5 skala Richter.
  3. Sistem Peringatan Dini Tsunami: Membangun sistem peringatan dini tsunami yang beroperasi dalam skala regional dan internasional.
  4. Pemantauan Berkala: Melakukan pemantauan berkala terhadap kondisi yang berpotensi memicu tsunami.
  5. Sistem Pendeteksi Tsunami: Mengembangkan sistem pendeteksi tsunami yang terdiri dari dua bagian. Pertama, infrastruktur komunikasi dan peringatan dini untuk menyebarkan informasi tentang ancaman tsunami. Kedua, jaringan sensor pendeteksi tsunami yang akan memberikan informasi tentang potensi gelombang tsunami.



2. Mitigasi Gunung Berapi



Kegiatan mitigasi bencana letusan gunung berapi bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana yang mungkin terjadi. Berikut ini adalah sejumlah langkah dalam upaya mitigasi bencana letusan gunung berapi:


  1. Pembangunan Tanggul: Tanggul dibangun untuk mencegah lahar gunung berapi masuk ke wilayah pemukiman, sehingga mengurangi risiko kerusakan.
  2. Pemantauan: Pelaksanaan pemantauan berkala merupakan langkah kunci untuk memantau aktivitas gunung berapi secara terus-menerus.
  3. Pengiriman Data ke DVMBG: Data pemantauan gunung berapi dikirimkan ke Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) menggunakan radio komunikasi SSB.
  4. Tindakan Tanggap Darurat: Ketika terjadi peningkatan aktivitas gunung berapi, langkah-langkah tanggap darurat dilakukan. Hal ii mencakup pemeriksaan berkala dan terpadu, evaluasi data aktivitas vulkanik, pengiriman tim ke lokasi, dan pembentukan tim tanggap darurat.
  5. Pemetaan Kawasan Rawan: Pemetaan kawasan rawan bencana gunung berapi digunakan untuk menjelaskan jenis bahaya, daerah rawan bencana, arah pengungsian, serta lokasi pos penanggulangan bencana gunung berapi.
  6. Penyelidikan Ilmiah: Gunung berapi diselidiki dengan menggunakan metode geologi, geofisika, dan geokimia guna memahami perilaku dan karakteristiknya.
  7. Sosialisasi: Sosialisasi dilakukan kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mengenai risiko dan langkah-langkah mitigasi yang perlu diambil.



3. Mitigasi Gempa Bumi



Kegiatan mitigasi gempa bumi bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak dari bencana tersebut. Berikut adalah langkah-langkah dalam kegiatan mitigasi gempa bumi:


  1. Identifikasi Sumber Bahaya dan Ancaman Bencana: Mengidentifikasi sumber-sumber bahaya dan potensi ancaman dari gempa bumi.
  2. Pembangunan Bangunan Sesuai Aturan Baku (Tahan Gempa): Membangun bangunan dengan mematuhi standar dan aturan yang dirancang untuk tahan terhadap gempa bumi.
  3. Penataan Lokasi Bangunan dan Perabotan yang Proporsional: Memahami lokasi bangunan tempat tinggal dan menempatkan perabotan secara proporsional untuk mengurangi risiko kerusakan.
  4. Persiapan Peralatan Darurat: Menyiapkan peralatan darurat seperti senter, peralatan pertolongan pertama (P3K), persediaan makanan instan, dan lainnya.
  5. Pengawasan Penggunaan Listrik dan Gas: Memastikan penggunaan listrik dan gas dalam kondisi yang aman dan menghindari potensi kebakaran atau ledakan.
  6. Mencatat Nomor Telepon Penting: Mencatat nomor telepon penting yang dapat dihubungi selama kejadian gempa bumi atau penanganan bencana.
  7. Pemahaman Jalur Evakuasi dan Partisipasi dalam Simulasi Mitigasi Bencana Gempa Bumi: Memahami jalur-jalur evakuasi yang telah ditentukan dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan simulasi mitigasi bencana gempa bumi.
  8. Pemantauan Penggunaan Teknologi yang Dapat Diaktifkan secara Cepat: Memantau penggunaan teknologi yang dapat digunakan secara cepat dalam situasi darurat.



4. Mitigasi Tanah Longsor



Kegiatan mitigasi bencana tanah longsor bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana. Berikut adalah langkah-langkah mitigasi bencana tanah longsor yang dapat dilakukan:


  1. Pemilihan Lokasi Aman: Untuk mencegah bencana tanah longsor, penting untuk menghindari membangun permukiman di daerah rawan longsor.
  2. Mengurangi Keterjalan Lereng: Mengurangi kemiringan lereng dapat membantu mengurangi risiko longsor.
  3. Pembuatan Terasering dan Drainase: Membuat terasering dengan sistem drainase yang efektif dapat mengendalikan aliran air dan mengurangi tekanan pada lereng.
  4. Penghijauan dengan Tanaman Berakar Kuat: Menanam tanaman dengan akar yang kuat dapat menguatkan tanah dan mengurangi erosi.
  5. Pembangunan Bangunan Berpondasi Kokoh: Membangun bangunan dengan pondasi yang kuat dapat mengurangi kerusakan akibat longsor.
  6. Penutupan Rekahan di Lereng: Menutup rekahan di atas lereng dapat mencegah air cepat meresap ke dalam tanah yang dapat memicu longsor.
  7. Relokasi Aset dan Permukiman: Dalam beberapa kasus, perlu dilakukan relokasi permukiman, gedung, fasilitas umum, atau lainnya ke daerah yang lebih aman.



5. Mitigasi Banjir



Kegiatan mitigasi bencana banjir bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak dari bencana banjir. Berikut adalah langkah-langkah mitigasi bencana banjir yang dapat dilakukan:


  1. Pembangunan Waduk: Pembangunan waduk bertujuan untuk mencegah terjadinya banjir dengan menyimpan air hujan yang berlebihan.
  2. Pembangunan Tanggul: Pembangunan tanggul bertujuan untuk melindungi daerah dari banjir dengan membangun dinding atau gundukan tanah sebagai penghalang air.
  3. Penataan Daerah Aliran Sungai: Penataan daerah aliran sungai melibatkan perencanaan tata ruang yang bijak untuk mengurangi risiko banjir.
  4. Penghijauan (Reboisasi): Penghijauan daerah hulu, tengah, dan hilir sungai melalui reboisasi bertujuan untuk mengurangi erosi dan meningkatkan retensi air.
  5. Pembangunan Sistem Peringatan dan Pemantauan: Pembangunan sistem peringatan dan pemantauan banjir membantu dalam memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat tentang potensi banjir.
  6. Pemanfaatan Bantaran Sungai: Bantaran sungai harus dijaga agar tidak digunakan sebagai lahan pembangunan untuk menghindari potensi banjir.
  7. Pembersihan Sampah dan Pengerukan Endapan: Pembersihan sampah dan endapan sungai perlu dilakukan secara berkala untuk menjaga aliran air yang lancar dan mengurangi risiko banjir.



6. Mitigasi Kekeringan



Kegiatan mitigasi bencana kekeringan bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana yang dapat terjadi. Berikut adalah beberapa langkah dalam kegiatan mitigasi bencana kekeringan:


  1. Pembangunan waduk untuk mencegah kekurangan air saat musim kemarau.
  2. Melakukan reboisasi hutan guna mencegah terjadinya kekeringan.
  3. Penghijauan di daerah pemukiman warga dan jalan utama.
  4. Monitoring penggunaan teknologi yang berhubungan dengan pengelolaan air.
  5. Membangun atau merehabilitasi sistem irigasi.
  6. Merawat dan merehabilitasi lahan konservasi dan sumber air.
  7. Melakukan sosialisasi untuk mengedukasi masyarakat tentang penghematan air.


Waspada! Ini Wilayah Persebaran Bencana Alam di Indonesia

Waspada! Ini Wilayah Persebaran Bencana Alam di Indonesia

Posisi geografis Indonesia memiliki kontribusi besar pada berbagai jenis bencana alam yang ada di Indonesia. Diantaranya gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, dan bencana angin puting beliung.



Wilayah Persebaran Bencana Alam di Indonesia
Apa saja bencana alam di Indonesia?
Dimana wilayah rawan bencana alam di Indonesia?
Mengapa di Indonesia sering terjadi bencana alam?



Posisi geografis Indonesia memiliki dampak yang besar terhadap bencana alam. Terletak di pertemuan tiga lempeng besar dunia. Akibat dari aktivitas lempeng ini, menyebabkan berbagai bencana seperti letusan gunung berapi dan gempa bumi. Selain itu, aktivitas lempeng ini juga berkontribusi pada keragaman relief geografis di Indonesia, serta meningkatkan risiko tanah longsor. Tak hanya itu, berbagai jenis bencana lainnya seperti banjir, tsunami, angin puting beliung, penurunan permukaan tanah, dan lainnya juga sangat mengancam Indonesia.


Untuk mengurangi risiko dan dampak dari bencana-bencana ini, penting untuk memahami sebaran wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana. Informasi ini dapat disebarkan kepada masyarakat melalui pemetaan yang tepat. Pemetaan ini akan memberikan wawasan kepada masyarakat tentang daerah-daerah yang rentan, dan memungkinkan mereka untuk bersiap siaga ketika bencana melanda, dengan tujuan untuk meminimalisir dampak yang akan terjadi.


Dibawah ini adalah persebaran wilayah-wilayah rawan bencana alam di Indonesia.



Gempa Bumi



Di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti Provinsi Aceh, Sumatra Barat, bagian selatan Pulau Jawa, Lombok, hingga wilayah Maluku, gempa bumi adalah bencana alam yang sering terjadi. Beberapa di antaranya bahkan disertai dengan gempa berkekuatan yang sangat besar. Getaran dari gempa tersebut tidak hanya mempengaruhi barang-barang di sekitarnya, tetapi juga seringkali meruntuhkan atau merusak bangunan-bangunan.


Gempa bumi terjadi secara tiba-tiba dan berdampak besar terutama di daerah yang padat penduduk. Gempa dengan kekuatan 5 hingga 6 Skala Richter sering terjadi di Indonesia dan kerap kali tidak menimbulkan kerugian atau dampak yang besar. Gempa dengan kekuatan 7 Skala Richter biasanya terjadi dua atau tiga kali setiap tahun dan menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Tentunya bencana gempa bumi ini sangat berpengaruh pada aktivitas manusia serta kondisi lingkungan sekitar.


Sebagian besar bencana gempa bumi di Indonesia disebabkan oleh aktivitas patahan lempeng tektonik atau deformasi batuan. Pusat gempa ini tersebar di sepanjang perbatasan lempeng tektonik, seperti divergen, konvergen, dan transform, sehingga terdapat keterkaitan yang erat antara aktivitas tektonik dengan kejadian gempa bumi. Kondisi geografis Indonesia yang berada di pertemuan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan banyaknya patahan dan tingginya risiko gempa bumi. Wilayah-wilayah seperti Pulau Papua bagian utara, Nusa Tenggara, Sumatra, Jawa, dan Sulawesi bagian utara memiliki potensi yang tinggi terjadinya gempa bumi.



Peta Zonasi Ancaman Bencana Gempa Bumi di Indonesia
Peta Zonasi Ancaman Bencana Gempa Bumi
di Indonesia



Daerah selatan Indonesia, termasuk Nusa Tenggara, Sumatra, dan Jawa, memiliki risiko yang sangat tinggi. Di sisi lain, Sulawesi bagian utara, Ambon, dan Papua bagian utara juga memiliki tingkat risiko yang serupa. Ancaman ini disebabkan oleh adanya lempeng kecil di utara seperti Lempeng Filipina. Daerah Pulau Jawa bagian tengah, Maluku, dan Sumatra bagian tengah, berada dalam zona ancaman yang lebih sedang. Pulau Kalimantan memiliki risiko yang lebih rendah karena berada jauh dari perbatasan dan pertemuan lempeng.


Sesar Semangko di Sumatera membentang dari Teluk Semangko di selatan Lampung hingga Banda Aceh di utara. Zona subduksi dengan sesar ini berjalan sejajar dengan lempeng Eurasia dan Indo Australia. Gempa bumi yang terjadi memiliki variasi kedalaman dan kekuatan. Kerusakan parah terjadi seiring dengan peningkatan kekuatan dan kedalaman episentrum gempa. Selain dari sesar Semangko, ada juga sesar-sesar lainnya seperti sesar Cimandiri, Opak, dan Grindulu di Pulau Jawa.



Letusan Gunung Berapi



Peta Sebaran Gunung Api di Indonesia
Peta Sebaran Gunung Api di Indonesia



Di Indonesia terdapat berbagai jenis gunung berapi. Distribusi gunung berapi berkaitan erat dengan lokasi zona subduksi lempeng seperti di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi. Di sisi lain, pulau-pulau seperti Papua dan Kalimantan tidak memiliki gunung berapi. Wilayah di sekitar gunung berapi memiliki risiko tinggi terkena dampak letusan vulkanik, yang mencakup pelepasan berbagai materi berbahaya seperti lava, abu, dan gas yang dapat membahayakan manusia dan ekosistem di sekitarnya.


Menurut laporan evaluasi yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2017, aktivitas gunung berapi di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:


  1. Tingkat awas (level IV), yakni Gunung Sinabung.
  2. Tingkat waspada (level II) yang mencakup 15 gunung berapi seperti Gunung Kerinci, Gunung Lokon, Gunung Semeru, Gunung Karangetang, Gunung Ibu, Gunung Gamkonora, Gunung Gamalama, Gunung Sangeang Api, Gunung Anak Krakatau, Gunung Dukono, Gunung Bromo, Gunung Rinjani, Gunung Soputan, Gunung Rokatenda, dan Gunung Merapi.
  3. Tingkat normal (level I), yang menunjukkan tidak ada aktivitas vulkanik dan tidak ada ancaman bagi wisatawan.



Tsunami



Peta Sebaran Ancaman Bencana Tsunami di Indonesia
Peta Sebaran Ancaman Bencana Tsunami di Indonesia



Sumatera bagian selatan, kepulauan Maluku, dan utara Papua memiliki resiko tsunami yang tinggi menurut indeks ancaman tsunami Indonesia. Sebaliknya, tingkat risiko tsunami ter-rendah dapat ditemukan di Jawa dan di pegunungan Sumatra, serta di pulau Kalimantan.


Salah satu peristiwa tsunami yang disebabkan oleh aktivitas tektonik terjadi pada tahun 2006 di Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Tsunami ini berawal dari gempa bumi dengan kekuatan 6,8 SR dengan pusat gempa yang berlokasi pada kedalaman 30 km. Tsunami kemudian melanda pantai selatan Jawa Barat, mencakup daerah Cipatujah, Pangandaran, pantai selatan Cianjur, Cilauteureun, dan Sukabumi. Kejadian ini menyebabkan hilangnya ratusan nyawa, kerusakan parah pada hotel-hotel di sepanjang pantai, hilangnya puluhan orang, orang-orang terluka, dan merusak ratusan rumah lainnya.



Banjir



Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir di Indonesia
Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir di Indonesia



Sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki potensi banjir. Potensi banjir dapat berasal dari hujan lebat dan keberadaan lahan rawa, terutama di Papua bagian selatan. Namun, banjir tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fisik seperti itu, perilaku manusia juga sangat berperan dalam terjadinya banjir.


Ada beberapa faktor dari aktivitas manusia yang menyebabkan banjir. Pertama, pembangunan di wilayah ruang terbuka hijau seperti pemukiman, jalan, dan gedung perkantoran. Kedua, berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, yang mengakibatkan air menggenang di jalan dan menyebabkan banjir. Ketiga, sistem drainase yang tidak memadai. Keempat, pengelolaan waduk yang tidak efisien. Terakhir, normalisasi sungai yang tidak memadai, sebab memerlukan relokasi permukiman di sepanjang tepian sungai ke lokasi yang lebih aman.


Tahun 2021 terjadi banjir yang menggenangi Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Kapuas Hulu dengan dampak yang sangat merugikan. Ratusan rumah rusak, lahan pertanian tergenang lumpur, dan menimbulkan korban jiwa.



Kekeringan



Peta Indeks Ancaman Bencana Kekeringan di Indonesia
Peta Indeks Ancaman Bencana
Kekeringan di Indonesia



Beberapa wilayah di Pulau Jawa saat bulan tertentu mengalami musim kemarau. Wilayah tersebut diantaranya yaitu Kabupaten Kebumen, Wonogiri, Tasikmalaya, Bekasi, Ciamis, Cianjur, Mojokerto, Trenggalek, dan Ponorogo. Pada bulan-bulan tertentu, sawah-sawah menjadi kering dan tak ada lagi air untuk tanaman/irigasi. Waduk dan sungai juga mengering. Warga di wilayah tersebut mengalami kesulitan air bersih untuk minum, mandi, dan mencuci.


Ancaman kekeringan tertinggi terdapat di pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Papua.  Kekeringan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, iklim yang kering, serta  adanya fenomena el nino.


Kekeringan yang terjadi merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Indikasi utama perubahan ini yaitu adanya anomali cuaca, pembalakan hutan besar-besaran, pertambangan non berkelanjutan, tingginya intensitas pembangunan gedung, dan tingginya alih fungsi lahan daerah pegunungan/perbukitan menjadi permukiman. 



Tanah Longsor




Peta Prediksi Gerakan Tanah (Longsor) di Indonesia
Peta Prediksi Gerakan Tanah (Longsor) di Indonesia



Longsor adalah bencana yang kerap melanda negara kita. Wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki potensi untuk mengalami bencana ini yakni Kabupaten Bogor, Cianjur, Bandung, Purwakarta, Sukabumi, Tegal, Purbalingga, dan Sumedang. Terjadinya potensi longsor disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk topografi yang berbukit dengan lereng yang curam, ketinggian wilayah, dan curah hujan yang tinggi.



Pada tahun 2016, tercatat sebanyak 612 bencana longsor terjadi di Indonesia. Misalnya, di Purworejo, bencana longsor menimbulkan puluhan korban jiwa. Pada tahun 2017, terdapat kasus longsor di Ponorogo yang menyebabkan 17 orang luka-luka dan 28 orang yang tertimbun tanah.



Kebakaran Hutan



Hampir setiap musim kemarau, kita sering kali menyaksikan pemandangan asap di udara sehingga mengurangi jarak pandang menjadi hanya beberapa meter. Asap ini seringkali menimbulkan gangguan pada penerbangan, lalu lintas jalan, dan dapat menyebabkan masalah kesehatan pernapasan. Sumber dari asap tersebut adalah kebakaran hutan.



Peta Potensi Kemudahan Terjadinya Kebakaran di Indonesia
Peta Potensi Kemudahan Terjadinya Kebakaran
di Indonesia



Indonesia memiliki banyak titik api yang umumnya terdeteksi di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Praktik pembakaran lahan yang tidak terkendali dan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan telah menyebabkan penyebaran titik api ke area lainnya. Tindakan membuka lahan ini dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan. Ketika pembakaran lahan berlangsung dalam skala yang besar, dapat memicu terjadinya kebakaran hutan yang lebih luas.



Angin Puting Beliung



Peta Indeks Ancaman Bencana Angin Puting Beliung di Indonesia
Peta Indeks Ancaman Bencana
Angin Puting Beliung di Indonesia



Ancaman angin puting beliung di Indonesia cenderung relatif rendah. Meskipun begitu, Pulau Jawa memiliki potensi risiko yang lebih besar sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Fenomena angin puting beliung biasanya terbentuk ketika adanya awan Cumulonimbus (Cb) selama musim penghujan, meskipun tidak semua jenis awan Cb memiliki potensi untuk menyebabkan bencana angin puting beliung.


Angin puting beliung terjadi ketika ada pertemuan antara massa udara dingin dan udara panas, menciptakan konflik udara yang akhirnya membentuk puting beliung. Intensitas aliran udara yang naik ke atas dalam awan juga menjadi faktor utama yang memicu terjadinya angin puting beliung. Air hujan yang terjebak dalam aliran udara naik ini kemudian dapat membentuk awan Cb yang memiliki potensi untuk menghasilkan angin puting beliung.


Karakteristik bencana angin puting beliung yakni sering terjadi pada siang hari dan umumnya di daerah dataran rendah. Angin puting beliung sering terjadi secara mendadak, dengan waktu terjadinya biasanya berkisar antara 5 hingga 10 menit, terutama dalam skala lokal. Bentuk angin ini mirip dengan belalai gajah, dan jika keberadaannya berlangsung cukup lama, dapat menyebabkan kerusakan signifikan di sepanjang jalur yang dilaluinya.