Tampilkan postingan dengan label Kelas 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kelas 12. Tampilkan semua postingan
4 Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan

4 Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan

Kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan mayoritas bekerja di luar sektor pertanian, serta hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis. Kota memiliki empat jenis pola perkembangan yakni, pola sentralisasi, desentralisasi, nukleasi, dan segregasi. Terdapat empat teori terkait struktur kota, yakni Teori Konsentris, Teori Sektoral, Teori Inti Ganda, dan Teori Ketinggian Bangunan.



Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan
Jelaskan apa yang dimaksud dengan struktur kota?
Sebutkan 4 pola keruangan kota apa saja?
Apa yang dimaksud dengan pola keruangan kota?
Bagaimana pola kota menurut teori konsentris?



Pengertian Kota


Pengertian kota yang umumnya digunakan di Indonesia adalah suatu tempat di mana penduduk berkumpul dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan yang terkait dengan aktivitas atau kehidupan penduduknya.


Dalam perumusan lain yang sering digunakan di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam Modul Perencanaan Kota yang diterbitkan oleh UT, kota didefinisikan sebagai wilayah permukiman dengan jumlah penduduk yang relatif besar, tetapi memiliki luas wilayah terbatas. Wilayah ini biasanya tidak bersifat pertanian, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, dan menjadi tempat tinggal bagi sekelompok orang dalam kawasan geografis tertentu yang cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.


Menurut Kamus Pengembangan Wilayah yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR pada tahun 2016, pengertian kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi dan fasilitas modern. Mayoritas penduduknya bekerja di luar sektor pertanian, dan wilayah ini cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.


Sumber yang sama juga mendefinisikan istilah "perkotaan" sebagai wilayah yang memiliki aktivitas utama bukan pertanian, dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal, pemusatan dan distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.


Selama ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli mengenai definisi "kota" (city) dan "perkotaan" (urban). Kedua istilah ini sering dibandingkan dengan "desa" (village) dan "pedesaan" (rural).


Menurut Muhammad Nuh dan Suhartono Winoto dalam buku "Kebijakan Pembangunan Perkotaan" (2017:7), rumusan pengertian kota dapat dibagi menjadi dua kelompok:


Pertama, kota dilihat dari definisi umum sebagai daerah terbangun yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian, dengan jumlah penduduk yang tinggi dan intensitas pemakaian tanah yang tinggi. Definisi ini menekankan bahwa kota berfungsi sebagai tempat bagi kegiatan non-pertanian, tempat tinggal banyak penduduk, serta pusat aktivitas ekonomi dan pelayanan jasa.


Kedua, definisi kota dikaitkan secara khusus dengan administrasi pemerintahan. Dalam konteks ini, kota dimaknai sebagai bentuk pemerintahan daerah di mana mayoritas wilayahnya merupakan kawasan perkotaan.


Definisi pertama lebih umum digunakan dalam studi geografi dan perencanaan kota karena lebih jelas dalam membedakan wilayah mana yang dapat disebut sebagai kota dan yang bukan, atau sebagai desa.


Kota menjadi objek kajian penting dalam ilmu geografi karena wilayah perkotaan dapat berkembang dengan cepat dan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan banyak penduduk yang tinggal di dalamnya. Salah satu aspek yang dipelajari dalam geografi adalah pola keruangan kota.



Pola Keruangan Kota


Kota pada umumnya bukanlah wilayah yang benar-benar sudah menjadi kawasan perkotaan sejak awal dibangun. Biasanya, wilayah kota semula berupa kawasan perdesaan yang kemudian berkembang secara bertahap menjadi makin ramai, padat penduduk dan tambah lengkap fasilitasnya, serta akhirnya berubah menjadi perkotaan.


Merujuk publikasi LPPM UNY (2012) bertajuk "Pola Keruangan Desa dan Kota," keberadaan berbagai fasilitas dan beragam aktivitas di perkotaan kemudian membentuk struktur ruang kota yang khas. Struktur ruang kota itu berbeda dari yang ada di desa, dan juga bisa berbeda antar-kota.


Struktur ruang kota merujuk pada semua elemen di sebuah kota, termasuk bentang alam (seperti bukit, gunung, sungai, dan lain-lain) maupun bangunan buatan manusia (seperti gedung, permukiman, fasilitas industri, dan sarana transportasi) di permukaan bumi.


Struktur ruang kota biasanya memiliki bentuk dan pola tertentu sesuai dengan perkembangan masing-masing kawasan perkotaan. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, kota-kota biasanya memiliki pusat yang terdiri dari alun-alun, masjid agung, kantor pemerintahan, pusat pertokoan, pasar besar, dan rumah sakit. Hal ini tentu berbeda dengan negara-negara lain atau sebagian kota di luar Jawa.


Pola keruangan kota juga dapat mencerminkan skema perkembangan wilayahnya. Menurut modul Geografi XII KD 3.2 dan 4.2 (2020) dari Kemdikbud, terdapat setidaknya empat pola perkembangan ruang kota yang sering terjadi.


Keempat pola perkembangan ruang kota tersebut adalah sebagai berikut:


  1. Pola sentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung berkumpul di satu wilayah utama.
  2. Pola desentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung menjauhi pusat atau inti wilayah utama.
  3. Pola nukleasi, yang menyerupai pola sentralisasi, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam pola nukleasi, inti kegiatan kota masih berada di wilayah utama.
  4. Pola segregasi, yang ditandai dengan sebaran kegiatan kota yang terpisah berdasarkan situasi sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.


Struktur keruangan kota juga bisa dianalisis dengan berbagai teori atau pendekatan, termasuk teori konsentris, teori inti ganda, teori sektoral, dan teori ketinggian bangunan. Berikut adalah penjelasannya.



Teori Struktur Keruangan Kota

 

1. Teori Konsentris (Ernest W. Burgess)


Teori konsentris dikembangkan oleh Ernest Watson Burgess (1886-1966), seorang sosiolog dari Amerika Serikat yang mendalami juga perkembangan kota. Teori konsentris ini muncul dari studi yang dilakukan oleh Burgess terhadap ruang kota Chicago, AS.


Dalam teori konsentris, kawasan kota berkembang dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang bersifat konsentris. Menurut Burgess, sebuah kota akan berkembang membentuk lima zona konsentris, dan setiap zona yang muncul akan mencerminkan pola penggunaan lahan tertentu.


Adapun perincian 5 zona kota menurut teori konsentris adalah sebagai berikut:


a. Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District)


Zona ini adalah pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Oleh karena itu, zona ini memiliki banyak fasilitas utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jaringan transportasi kota juga berpusat di zona ini, yang mengakibatkan zona pusat kegiatan memiliki aksesibilitas yang tinggi.


Biasanya, di zona pusat kegiatan terdapat gedung-gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan besar, bangunan perkantoran yang tinggi (gedung pencakar langit), bank, hotel, restoran, stasiun, dan lain-lain.


b. Zona Peralihan (Transition Zone)


Zona ini banyak dihuni oleh golongan penduduk berpenghasilan rendah dan migran yang baru datang atau belum lama melakukan urbanisasi dari desa. Oleh karena itu, zona ini berkembang menjadi kawasan padat penduduk.


Aktivitas perdagangan dan industri di Zona Pusat Kegiatan yang terus meningkat mendorong permukiman murah bergeser ke zona kedua ini. Zona ini juga mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus. Karena itu, di zona kedua ini, sering muncul daerah permukiman kumuh (slums area), dan banyak penduduknya yang miskin.


c. Zona Kelas Rendah (Zone of Low Status)


Perumahan di zona ketiga ini umumnya lebih baik dan sudah teratur. Mayoritas penghuni zona ketiga adalah bekas penghuni zona kedua yang bekerja sebagai pekerja pabrik, karyawan, dan sejenisnya.


Keberadaan permukiman pekerja berpenghasilan rendah di zona ketiga ini ditandai dengan banyaknya rumah kecil maupun rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Kondisi permukiman di zona ketiga lebih baik dibandingkan dengan zona kedua, meskipun mayoritas penduduknya berada dalam kategori menengah ke bawah.


d. Zona Kelas Menengah (Zone of Middle Status)


Kawasan ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari pekerja profesional, pemilik usaha, pengusaha, pegawai dengan penghasilan menengah ke atas, dan sejenisnya. Perumahan penduduk di zona ini berupa rumah pribadi yang cukup besar dan tertata rapi. Biasanya, terdapat pusat perbelanjaan kecil untuk memenuhi kebutuhan warga yang ada di zona keempat ini.


Mengingat status ekonomi penduduknya sudah menengah-atas, kompleks perumahan di zona keempat ini sudah dibangun dengan perencanaan yang baik, teratur, nyaman, dan fasilitas yang memadai.


e. Zona Kelas Tinggi (Zone of High Status)


Zona kelima ini berupa kawasan yang sudah memasuki daerah belakang kota (hinterland) atau batas desa-kota. Penduduk yang bekerja di kota tetapi tinggal di pinggiran kota merupakan penghuni zona ini.


Zona kelima ini merupakan bagian terluar dari kota dan merupakan kawasan perumahan mewah. Lapisan ini hanya ditempati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi sehingga dapat pulang-pergi ke tempat kerja di pusat kota. Zona ini berkembang sebagai kawasan yang memicu tumbuhnya kota-kota satelit.



2. Teori Inti Ganda (Harris-Ullman)


Teori inti ganda dikembangkan pertama kali oleh C.D. Harris dan F.L. Ullmann (1945). Mereka beranggapan bahwa struktur ruang kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang memiliki satu pusat kegiatan. Sebaliknya, struktur ini terbentuk secara terus-menerus sehingga muncul beberapa pusat kegiatan baru di kota yang saling terpisah.


Menurut teori inti ganda, struktur ruang kota tidak memiliki urutan yang teratur, berbeda dengan teori konsentris yang menganggap struktur ruang kota sudah tertata rapi. Teori inti ganda menganggap sangat mungkin tercipta beberapa titik pusat pertumbuhan baru di suatu kota.


Maka itu, teori inti ganda menganggap ada beberapa inti kota dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya kompleks pusat pemerintahan, pelabuhan, kompleks kegiatan ekonomi (pasar dan mal), dan lain-lain, yang muncul tidak di satu area yang tergabung.


Struktur ruang kota menurut teori inti ganda adalah sebagai berikut:


  1. Pusat Kota atau CBD
  2. Kawasan Niaga dan Industri Ringan
  3. Kawasan Murbawisma atau Permukiman Kualitas Rendah
  4. Kawasan Madyawisma atau Permukiman Kualitas Sedang
  5. Kawasan Adiwisma atau Tempat Tinggal Kualitas Tinggi
  6. Pusat Industri Berat
  7. Pusat Niaga atau Perbelanjaan Lain di Pinggir Kota
  8. Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Madyawisma dan Adiwisma
  9. Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Industri.



3. Teori Sektoral (Homer Hoyt)


Teori sektoral atau sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt, seorang ahli ekonomi dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai perintis kajian perencanaan, penggunaan lahan, serta zonasi ekonomi.


Menurut teori sektoral, struktur ruang kota berkembang karena adanya sektor-sektor yang membentuk sejumlah lingkaran konsentris. CBD atau pusat ekonomi masih berada di pusat kota, tetapi bagian-bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang berbentuk seperti irisan kue tart.


Perkembangan seperti ini dapat terjadi karena ada pengaruh faktor geografis alami maupun buatan, seperti bentuk lahan, pengembangan jalan, serta penyediaan sarana komunikasi dan transportasi. Teori sektoral membagi wilayah kota menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:


  1. Daerah Pusat Kota atau CBD, terdiri atas pusat ekonomi, sosial, pemerintahan, dan budaya.
  2. Zona Wholesale Light Manufacturing yang terdiri atas industri kecil dan perdagangan.
  3. Zona Permukiman Kelas Rendah yang menjadi tempat tinggal pekerja industri di kota dengan penghasilan kecil.
  4. Zona Permukiman Kelas Menengah yang ditinggali oleh penduduk kota dengan penghasilan tinggi.
  5. Zona Permukiman Kelas Tinggi, yaitu permukiman golongan kelas atas di kota.



4. Teori Ketinggian Bangunan (Bergell)


Teori ketinggian bangunan dikembangkan oleh Bergell (1955). Bergell berpendapat bahwa ketinggian bangunan di wilayah kota perlu diperhatikan untuk menganalisis struktur keruangannya.


Variabel ketinggian bangunan perlu menjadi perhatian di kota-kota negara maju, karena berkaitan dengan hak setiap warga kota untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman.


Teori ini berkaitan dengan pengaturan ketinggian bangunan dalam hubungannya dengan penggunaan lahan. Hal ini berguna untuk mencegah kesemrawutan dalam tata ruang kota.

Kota: Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan

Kota: Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan

Kawasan perkotaan adalah wilayah dengan aktivitas utama bukan pertanian, dengan fungsi utama mencakup pemukiman, distribusi layanan pemerintah, pelayanan sosial, dan aktivitas ekonomi. Kota memiliki elemen utama: manusia, alam, ruang, jaringan, dan masyarakat.



Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan Kota
Apa karakteristik kota?
Apa itu klasifikasi kota?
Klasifikasi kota berdasarkan tingkat perkembangan?
Apa yang dimaksud dengan perkembangan kota?


Pengertian Kota dan Perkotaan



Pengertian kota secara umum merujuk pada suatu wilayah dengan aktivitas ekonomi yang bukan bersifat agraris, fasilitas publik yang lengkap, serta dihuni oleh jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Perlu diperhatikan bahwa konsep wilayah perkotaan memiliki perbedaan mendasar yang layak untuk dikaji. Meskipun begitu, jika kita melihat dari perspektif pembentukannya, kota merupakan hasil dari evolusi wilayah pedesaan.


Kamus Tata Ruang memberikan definisi kota sebagai wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pemusatan aktivitas fungsional yang berkaitan dengan penduduk.


  • Menurut Bintarto, kota merupakan sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh tingginya kepadatan penduduk serta keragaman sosial ekonomi yang bersifat materialistis.
  • Menurut Harris dan Ullman, kota adalah pusat bagi pemukiman dan pemanfaatan ruang bumi yang diorganisir oleh manusia dengan cermat. Kota ditandai oleh pertumbuhan wilayah yang cepat dan meluas.
  • Menurut Weber, kota adalah suatu wilayah tempat tinggal yang dicirikan oleh kemampuan masyarakatnya untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.


Dari definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa kota adalah wilayah yang berfungsi sebagai pusat pemukiman dan aktivitas ekonomi bagi masyarakat yang memiliki keunggulan sumber daya manusia. Kota memiliki kapasitas untuk memberikan peluang yang lebih besar daripada wilayah pedesaan. Karenanya, tak heran jika banyak penduduk pedesaan yang memutuskan untuk berpindah ke kota dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup mereka.


Selain kota, terdapat juga istilah "perkotaan" yang merujuk pada suatu kawasan pemukiman yang mencakup kota utama dan daerah sekitar dengan batas administratif yang dipengaruhi oleh kota utama tersebut. Kawasan perkotaan juga berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, industri, distribusi layanan pemerintahan, serta pelayanan sosial. 


Kawasan perkotaan adalah wilayah dengan aktivitas utama yang bukan pertanian, dengan fungsi-fungsi utamanya mencakup pemukiman, distribusi layanan pemerintah, pelayanan sosial, dan aktivitas ekonomi.



Karakteristik Perkotaan



Kawasan perkotaan memiliki ciri khas geografis yang unik, ditandai dengan pola perkembangan yang didominasi oleh struktur bangunan, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dan proporsi lahan yang terbatas. Masyarakat perkotaan secara umum cenderung menunjukkan sifat individualis, kosmopolitan, dan pola interaksi sosial yang terkadang tersegmentasi.


Variasi dalam aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan cenderung beragam, mencakup sektor-sektor ekonomi non-agraris yang beragam. Selain sebagai tempat tinggal, perkotaan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi seperti pasar, pusat pelayanan, pusat pemerintahan, pusat militer, pusat kegiatan keagamaan, dan pusat pendidikan. Masyarakat yang mendiami perkotaan memiliki latar belakang ekonomi, suku, dan budaya yang beragam.



Elemen Perkotaan



Sebuah kota merupakan hasil dari sejumlah elemen penting yang secara bersama membentuk dan menggerakkan dinamika perkotaan. Kelima elemen utama yang membentuk struktur kota adalah manusia, alam, ruang, jaringan, dan masyarakat. Mari kita bahas lebih rinci masing-masing komponen kota ini:


1. Manusia


Sumber daya manusia adalah motor penggerak utama dari kemajuan sebuah kota. Kualitas tenaga kerja kota menjadi faktor kunci yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kota. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, kota dapat menjadi pusat pembangunan yang berkelanjutan.


2. Alam


Sumber daya alam seperti tanah, kekayaan alam, dan kondisi iklim berperan penting dalam membentuk karakter suatu kota. Faktor-faktor tersebut, termasuk hasil pertanian, sumber daya tambang, dan hasil laut, memengaruhi pertumbuhan ekonomi kota. Keberlimpahan sumber daya alam dapat menjadi dorongan besar bagi industri kota.


3. Ruang


Ruang fisik adalah tempat di mana seluruh aktivitas kota berlangsung. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang yang efektif menjadi kunci dalam pengembangan kota. Tata ruang mengatur struktur fisik dan menjadi panduan dalam menangani isu-isu dan tantangan perkotaan.


4. Jaringan


Jaringan infrastruktur seperti jalan, transportasi, air bersih, sanitasi, energi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan perdagangan adalah elemen kunci yang memastikan fungsi kota agar dapat berjalan lancar. Dengan adanya infrastruktur, dapat membantu menciptakan lingkungan permukiman dan usaha yang optimal sesuai dengan kebutuhan kota.


5. Masyarakat


Masyarakat kota telah banyak memiliki perubahan jika dibandingkan dengan pedesaan. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan jelas dan nyata sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar..



Klasifikasi Kota



1. Klasifikasi kota berdasarkan jumlah populasi dan permukiman


Klasifikasi wilayah kota berdasarkan pertumbuhan populasi dan permukiman di dalamnya terbagi menjadi 15 kelompok. Wilayah kota dalam teori Doxiadis dapat diuraikan sebagai berikut.


• Dwelling group : 40 jiwa.

• Small neighborhood : 250 jiwa.

• Neighborhood : 1.500 jiwa.

• Small town : 9.000 jiwa.

• Town : 50.000 jiwa.

• Large city : 300.000 jiwa.

• Metropolis : 2.000.000 jiwa.

• Conurbation : 14.000.000 jiwa.

• Megalopolis : 100.000.000 jiwa.

• Urban region : 700.000.000 jiwa.

• Urban continent : 5.000.000.000 jiwa.

• Ecumenepolis : 30.000.000.000 jiwa.


2. Klasifikasi kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanan (retail)


Klasifikasi kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanan (retail) dapat dibagi menjadi tiga kategori, sebagaimana dijelaskan oleh Sinulingga (2005):


a. Kota Monosentris


Kota Monosentris adalah jenis kota yang masih dalam tahap perkembangan awal, dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit, dan hanya memiliki satu pusat pelayanan yang juga berfungsi sebagai Central Business District (CBD).

 

Contoh kota monosentris adalah ibu kota kecamatan yang umumnya hanya memiliki satu pusat pelayanan untuk berbagai kegiatan.


b. Kota Polisentris


Jenis Kota Polisentris sudah mengalami perkembangan lebih lanjut, sehingga memerlukan lebih dari satu pusat pelayanan. Jumlah pusat pelayanannya bergantung pada jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut. 


Contoh kota polisentris meliputi kota-kota di daerah dan ibu kota kabupaten, yang memiliki lebih dari satu pusat pelayanan.


c. Kota Metropolitan


Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terletak cukup jauh dari urban fringe kota tersebut. Meskipun terpisah secara geografis, kota-kota ini bekerja bersama sebagai satu sistem dalam menyediakan pelayanan bagi penduduk di wilayah metropolitan tersebut. 


Jakarta dan Surabaya adalah contoh kota metropolitan yang terhubung dengan kota-kota satelit di sekitarnya.



Stadia Perkembangan Kota



Kota adalah entitas spasial yang muncul sebagai akibat dari pertumbuhan pesat aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Dalam perspektif asal usulnya, setiap kota pada dasarnya adalah sebuah desa yang mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Berikut adalah enam tahap perkembangan kota menurut Lewis Mumford.


1. Tahap Eopolis


Pada tahap ini, kita melihat desa yang telah mengalami transformasi menuju gaya hidup perkotaan. Contohnya, perkembangan kota di daerah pemekaran. Di wilayah ini, kita akan menemukan kelurahan atau kecamatan yang memiliki ciri-ciri pedesaan, tetapi sudah menunjukkan perubahan yang mengarah ke kehidupan perkotaan. 


Jalan-jalan sudah beraspal, listrik digunakan sebagai sumber energi untuk penerangan dan keperluan industri rumah tangga, ponsel telah menjadi alat komunikasi yang umum digunakan, dan sebagian masyarakat telah mengadopsi pola hidup perkotaan. 


Sebagai contoh, kita bisa menyebutkan Desa Punten, Tulungrejo, dan Beji di daerah Batu, Jawa Timur. Perubahan ini terlihat ketika Batu berubah statusnya menjadi kota administrasi kecamatan.


2. Tahap Polis


Tahap kota yang sebagian besar aktivitas ekonominya masih memiliki latar belakang pertanian. Tahap ini sering dijumpai di ibu kota daerah pemekaran, yang masih menerapkan pola agraris karena adanya perpindahan dari kota sebelumnya. 

Contohnya adalah Kota Batu dan Kota Kepanjen, yang masih didominasi oleh aktivitas pertanian sebagai mata pencaharian utama penduduknya.


3. Tahap Metropolis


Pada tahap ini, kota memiliki sektor industri yang mendominasi aktivitas ekonominya. 

Contohnya adalah Kota Sidoarjo, Tangerang, dan Bekasi, di mana sebagian besar penduduk terlibat dalam sektor industri.


4. Tahap Megalopolis 


Tahap wilayah perkotaan telah berkembang menjadi tingkat tertinggi melalui ekspansi atau perluasan wilayah kota. 

Contohnya adalah Jakarta dan Surabaya, yang memperluas pengaruhnya hingga mencakup wilayah sekitarnya, seperti Jabodetabek dan Gerbangkertosusila.


5. Tahap Tiranopolis


Pada tahap ini, wilayah perkotaan menghadapi tantangan berupa masalah-masalah yang sulit dikendalikan, seperti kemacetan, kriminalitas, dan penurunan pelayanan. Hingga saat ini, sepertinya tahap ini belum dialami dalam perkembangan kota-kota di Indonesia.


6. Tahap Nekropolis


Tahap perkembangan kota bergerak menuju kemunduran atau "kota mati."

 

Ketahui Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota

Ketahui Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota

Pembangunan kota berdasarkan paradigma baru menekankan kenyamanan, efisiensi, dan keberlanjutan. Hal ini termasuk manajemen perkotaan yang efektif, pengembangan ekonomi ramah lingkungan, dan revitalisasi kawasan kota.



Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota
Apa paradigma dalam pembangunan?
Paradigma pembangunan yang diterapkan di Indonesia?
Langkah yang tepat dalam perencanaan pembangunan?
Pembangunan ekonomi yang paling optimal di Indonesia?



Paradigma Pembangunan Kota



Ketika kita berada di suatu kota, kita semua menginginkan kenyamanan. Jalanan yang halus dan tertata rapi dengan fasilitas pejalan kaki yang luas dan ramah bagi penyandang disabilitas, taman yang meramaikan jalan, serta ruang terbuka hijau yang menciptakan harmoni. Semua ini merupakan gambaran dari sebuah paradigma pembangunan kota baru yang mengutamakan kesejahteraan penduduknya. 


Pembangunan kota modern tidak hanya berkaitan dengan infrastruktur fisik dan aspek ekonomi semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek seperti kenyamanan, efisiensi, dan keberlanjutan. Sebagai contoh, Jakarta yang mengadopsi visi "Maju Kotanya, Bahagia Warganya," telah berhasil menciptakan keindahan yang tak kalah dengan kota-kota besar dunia lainnya.


Pembangunan kota berdasarkan paradigma baru ini dapat dicapai melalui berbagai upaya, termasuk:


  • Manajemen Perkotaan yang Efektif: Mencakup optimalisasi penggunaan lahan, perlindungan zona penyangga di sekitar pusat kota, serta penegakan hukum yang tegas dan adil.
  • Pengembangan Ekonomi yang Ramah Lingkungan: Mendorong pertumbuhan sektor jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan industri telematika yang berkelanjutan, sambil meningkatkan kemampuan keuangan daerah perkotaan.
  • Revitalisasi Kawasan Kota: Memulihkan fungsi kawasan-kawasan melalui pembangunan ulang, peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, dan budaya, serta pengembangan sistem transportasi massal yang terintegrasi antarmoda.


Pembangunan kota dengan paradigma baru ini dikenal sebagai "kota baru" dan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali dan kemacetan di kota-kota besar. Di Indonesia, banyak kota yang telah mengadopsi konsep kota baru, seperti Balikpapan Baru, Kota Baru, dan sejumlah kota lainnya seperti Semarang, Gresik, Kendari, Manado, Batu, Yogyakarta, dan Solo, meskipun mereka mungkin tidak secara resmi disebut sebagai "kota baru."



Arah dan Dinamika Pembangunan Kota



Kota-kota berkembang secara dinamis, dipengaruhi oleh tiga faktor utama:


  • Struktur Ruang: Melibatkan tata letak jaringan jalan, penggunaan lahan, dan pengelolaan lahan.
  • Sumber Daya Potensial: Modal yang tersedia untuk menentukan arah pembangunan kota.
  • Tantangan Urbanisasi: Dampak urbanisasi berlebih, seperti pertumbuhan penduduk yang pesat, kemiskinan, ketidakstabilan keamanan, kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan pengaruh globalisasi.


Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh kota-kota adalah dampak urbanisasi. Masalah ini muncul ketika kota tidak lagi mampu memberikan fasilitas dasar dan lapangan kerja yang memadai bagi penduduknya, akibat pertumbuhan penduduk yang cepat. 


Urbanisasi tidak hanya memperparah pengangguran, tetapi juga menimbulkan masalah sosial seperti kepadatan penduduk, invasi lahan, dan perkembangan pemukiman ilegal. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembangunan perkotaan yang mampu menciptakan keseimbangan regional dan pemerataan sumber daya.


Paradigma pembangunan kota yang baru ini memandang desa dan kota sebagai sistem yang tak terpisahkan. Pengembangan desa juga menjadi bagian penting dari strategi pengembangan wilayah kota. Selain berdampak pada masalah-masalah yang telah disebutkan, urbanisasi juga memaksa kota untuk terus tumbuh dan memperbaiki fasilitas-fasilitasnya guna memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat akibat pertumbuhan urbanisasi.


Pembangunan Desa: Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan

Pembangunan Desa: Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan

Terdapat empat prinsip pengelolaan pembangunan desa, yakni Akuntabilitas, Transparansi, Partisipatif, dan Berkelanjutan. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kemajuan sebuah desa, yaitu potensi desa, Interaksi desa-kota, dan Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju.



Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan Desa
Apa saja yang termasuk dalam pembangunan desa?
Strategi apa yang digunakan dalam pembangunan desa?
Apa sasaran pembangunan desa?
Faktor apa yang mempengaruhi pembangunan desa?



Prinsip Pengelolaan Pembangunan Desa



Pembangunan desa merupakan sebuah proses yang harus dilakukan dengan cermat dan holistik, sesuai dengan prinsip-prinsip yang mengatur pengelolaan pembangunan desa. Terdapat empat prinsip kunci yang harus diterapkan dalam pengelolaan pembangunan desa, yaitu:



1.Akuntabilitas


Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa pengelolaan semua kegiatan pembangunan harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan dan penggunaan sumber daya harus dilakukan dengan transparansi dan integritas, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang jelas mengenai bagaimana dana dan sumber daya mereka digunakan.



2. Transparansi


Prinsip transparansi menekankan perlunya menjalankan pengelolaan pembangunan desa secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa informasi mengenai proyek-proyek pembangunan, alokasi dana, dan kebijakan terkait tersedia untuk publik. Dengan demikian, masyarakat dapat mengawasi dan mengerti sepenuhnya proses pembangunan desa.



3. Partisipatif


Prinsip partisipatif menekankan pentingnya melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan desa. Partisipasi masyarakat tidak hanya diterima, tetapi juga dihargai. Hal ini melibatkan berbagai tahap, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan proyek, serta pemantauan dan evaluasi. Masyarakat harus memiliki peran dalam menentukan kebutuhan mereka sendiri dan harus memiliki kesempatan untuk memberikan masukan serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.



4. Berkelanjutan


Prinsip berkelanjutan menegaskan bahwa pengelolaan pembangunan desa harus mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini mencakup pemikiran jangka panjang tentang dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari kebijakan dan proyek pembangunan desa. Pengelolaan yang berkelanjutan juga harus mempertimbangkan kebutuhan generasi masa depan.


Selain memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan, implementasi pembangunan desa juga harus mempertimbangkan elemen-elemen penting yang berperan dalam meningkatkan kemajuan desa. Terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi kemajuan sebuah desa, yaitu potensi intrinsik yang dimiliki oleh desa itu sendiri, hubungan interaktif antara desa dan kota yang terdekat, serta posisi geografis desa dalam konteks wilayah yang lebih maju. 



1. Potensi desa


Desa merupakan unit penting dalam pembangunan wilayah, dan terdapat dua faktor utama yang berpengaruh besar terhadap kemajuan desa, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Desa yang memiliki sumber daya alam yang melimpah serta sumber daya manusia yang berkualitas memiliki peluang lebih besar dan lebih cepat untuk maju. Sebaliknya, desa-desa yang terbatas dalam sumber daya akan menghadapi berbagai kendala dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan mereka. Sebagai contoh, Desa Condongcatur di Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang pesat karena didukung oleh sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang berkualitas.



2. Interaksi desa-kota


Interaksi antara desa dan kota adalah aspek penting dalam pembangunan wilayah. Hal ini mencakup hubungan saling menguntungkan antara desa dan kota. Interaksi yang intensif antara keduanya biasanya tercermin dalam aliran barang-barang primer dari desa ke kota dan aliran barang sekunder atau tersier dari kota ke desa. Tingkat interaksi yang tinggi berkontribusi pada perkembangan yang lebih pesat bagi desa-desa tersebut.



3. Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju


Setiap desa berada dalam konteks wilayah yang lebih besar. Keberadaan dan posisi relatif desa dalam hubungan dengan desa-desa lainnya sangat penting dalam mendorong kemajuan. Posisi geografis desa terhadap desa-desa tetangga dapat mempengaruhi aksesibilitas dan peluang untuk mencapai kemajuan yang lebih besar. Oleh karena itu, praktik pembangunan wilayah tidak dapat di universalkan secara seragam antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, karena perbedaan dalam potensi alam, posisi geografis, dan interaksi antara wilayah-wilayah tersebut memainkan peran penting dalam penentuan strategi pembangunan yang tepat.



Dinamika dan Arah Pembangunan Desa


Pembangunan wilayah pedesaan memegang peran sentral dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Signifikansi pembangunan pedesaan terdokumentasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sebuah dokumen strategis yang menjadi panduan resmi bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan pembangunan.


Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk tingkat desa dilakukan dengan mempertimbangkan orientasi kebijakan pembangunan di tingkat kabupaten/kota, sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa PDTT No. 21 Tahun 2020).


Berikut ini adalah arah kebijakan pembangunan pedesaan yang sejalan dengan arah kebijakan pembangunan kota:


  1. Pemenuhan standar pelayanan minimum di pedesaan, termasuk permukiman transmigrasi, yang sesuai dengan karakteristik geografis desa setempat.
  2. Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan, termasuk di wilayah transmigrasi.
  3. Fokus pada pembangunan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas, serta pembentukan modal sosial dan budaya masyarakat pedesaan, termasuk di wilayah transmigrasi.
  4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Desa dengan cara yang terorganisir, konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.
  5. Pengembangan kapasitas dan pendampingan berkelanjutan bagi aparat pemerintah desa dan lembaga-lembaga pemerintahan setempat.
  6. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, serta perencanaan ruang di wilayah pedesaan, termasuk wilayah transmigrasi.
  7. 7. Stimulasi perkembangan ekonomi di wilayah pedesaan dan wilayah transmigrasi guna mendorong keterkaitan antara pedesaan dan perkotaan.

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Indonesia memiliki desa yang jumlahnya sangat besar. Secara nasional, terdapat 74.961 desa dengan berbagai kondisi yang beragam. Ada desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Selain itu, terdapat pula desa mandiri, berkembang, dan tertinggal. Oleh karena itu, perlu dilakukan klasifikasi agar pengembangan dapat dilakukan secara lebih optimal. 



Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada
Apa saja Jenis-Jenis Desa?
Apa itu Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada?
Apa itu Desa Mandiri, Berkembang, dan Tertinggal?


Berdasarkan Tingkat Kemajuan



Berdasarkan tingkat kemajuannya, ada tiga jenis desa, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Ketiga jenis desa tersebut diuraikan sebagai berikut.



1. Desa Mandiri



Desa Mandiri atau yang juga dikenal sebagai Desa Sembada, adalah desa yang telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam melaksanakan pembangunan demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Ciri khas dari desa ini meliputi:


  1. Ketersediaan dan akses yang memadai terhadap layanan dasar.
  2. Infrastruktur yang baik dan aksesibilitas yang mudah.
  3. Pelayanan umum yang berkualitas serta pemerintahan yang efisien.


Desa Mandiri dapat diidentifikasi berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) yang mencapai angka di atas 0,8155. Pertumbuhan jumlah desa mandiri mengindikasikan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, terjadi peningkatan jumlah desa mandiri sebanyak 174 desa. Pada awalnya, pada tahun 2015, terdapat 6.064 desa mandiri, dan angka ini meningkat menjadi 6.238 desa pada tahun 2022. 


Beberapa contoh desa yang masuk dalam kategori mandiri antara lain Desa Julubori (Kabupaten Gowa), Desa Lanci Jaya (Kabupaten Dompu), Desa Bululawang (Kabupaten Malang), Desa Reksosari (Kabupaten Semarang), dan Desa Melung (Kabupaten Banyumas).



2. Desa Berkembang



Desa berkembang atau yang juga dikenal sebagai desa madya, adalah desa dengan potensi besar untuk menjadi desa maju di masa depan. Desa ini memiliki sumber daya yang cukup memadai, seperti akses yang baik ke layanan dasar, infrastruktur yang berkembang, transportasi yang mudah dijangkau, pelayanan umum yang memadai, dan pemerintahan yang baik. Namun, desa tersebut belum mampu mengelola potensi yang dimilikinya secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.


Desa berkembang dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Madya (IDM) yang memiliki nilai antara 0,5989 hingga 0,7072. Hingga tahun 2022, Indonesia memiliki sebanyak 33.878 desa berkembang. Beberapa contoh desa berkembang di Indonesia antara lain Desa Pesanggrahan (Kabupaten Mojokerto), Desa Rejoso Kidul (Kabupaten Pasuruan), Desa Kedung (Kabupaten Tangerang), dan Desa Langkura (Kabupaten Jeneponto).



3. Desa Tertinggal



Desa tertinggal yang juga dikenal sebagai desa pramadya, merujuk pada desa-desa yang memiliki potensi sumber daya seperti layanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, layanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, namun belum atau kurang mampu mengelolanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia. 


Desa tertinggal dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Membangun (IDM) yang berada dalam rentang ≤ 0,5989 dan > 0,4907. Pada tahun 2022, terdapat total 9.202 desa tertinggal di Indonesia. Beberapa contoh desa tertinggal tersebut mencakup Desa Leuwibalang (Kabupaten Pandeglang), Desa Dolok Raja (Kabupaten Samosir), Desa Iwoikondo (Kabupaten Kolaka Timur), Desa Warambe (Kabupaten Muna), dan Desa Jareng (Kabupaten Pidie). 


Menurut pengukuran Indeks Pembangunan Desa (IPD) di Indonesia, mayoritas desa berada dalam kategori desa berkembang, mencapai 73,40%, diikuti oleh desa tertinggal sebanyak 19,17%, dan desa mandiri sebanyak 7,43%.



Berdasarkan Tingkat Pembangunan



Selain dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuannya, desa juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat pembangunan dan potensi yang dimiliki wilayahnya untuk dikembangkan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, desa dapat dibagi menjadi tiga kategori: desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.



1. Desa Swadaya



Desa Swadaya adalah desa yang sebagian besar masyarakatnya memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Biasanya, desa ini terletak di daerah terpencil dan memiliki interaksi yang kurang dengan masyarakat di luar desa mereka. Proses kemajuan di desa ini sangat lambat bahkan mungkin sama sekali tidak ada. 


Salah satu contoh desa yang masuk dalam kategori Swadaya adalah Desa Kanekes, yang terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini dihuni oleh suku Badui, sebuah suku yang memiliki budaya dan tradisi yang sangat unik.


Pada kenyataannya, Suku Badui sangat berusaha untuk tidak terpengaruh oleh budaya luar guna menjaga keaslian tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan mereka. Hal ini terlihat dalam pendekatan mereka terhadap teknologi modern seperti penggunaan handphone, televisi, penerangan listrik, dan sebagainya. 


Suku Badui mempercayai bahwa peran mereka adalah untuk menjaga keseimbangan alam, dan mereka merasa bahwa mereka diciptakan untuk menjaga tanah suci (taneuh titipan) yang dianggap sebagai pusat bumi. Pemikiran ini tercermin dalam aktivitas mereka yang berfokus pada pelestarian lingkungan, seperti menjaga kebersihan sungai dan menjaga kelestarian hutan.



2. Desa Swakarya



Desa Swakarya adalah desa yang telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih maju dibandingkan dengan desa swadaya. Masyarakatnya telah mampu menjual hasil produksi yang berlebih ke daerah lain. Meskipun interaksi di desa ini sudah mulai terlihat, namun untuk frekuensi dan intensitasnya masih jarang. Salah satu contohnya adalah Desa Kemiren di Kabupaten Banyuwangi.


Penduduk Desa Kemiren merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal sebagai Suku Osing. Pemerintah telah menetapkannya sebagai cagar budaya dan mengembangkannya menjadi Desa Wisata Suku Osing. Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama, seperti gedung kesenian sebagai objek pelestarian kebudayaan, serta fasilitas penunjang seperti penginapan dan kolam renang.



3. Desa Swasembada



Desa swasembada adalah desa yang telah berhasil mengembangkan semua potensinya secara optimal. Ciri khasnya adalah masyarakatnya mampu untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar desa, melakukan perdagangan dengan wilayah lain, dan memiliki kemampuan untuk saling memengaruhi dengan penduduk di daerah sekitarnya. Melalui interaksi ini, masyarakat dapat mengadopsi teknologi baru untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memajukan proses pembangunan. 


Salah satu contoh desa swasembada adalah Desa Wonoayu, yang terletak di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa ini menjadi penopang utama kebutuhan daging sapi secara nasional, dengan sekitar 87% penduduknya menggantungkan hidup dari usaha peternakan sapi. Pada beberapa bulan tertentu, pemilik sapi di Desa Wonoayu bahkan mengadakan inseminasi buatan sapi secara massal.



Bagaimana dengan desa kalian sobat? Dari klasifikasi perkembangan desa di atas, desa sobat termasuk dalam kategori mana?. Hierarki perkembangan desa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung kemajuan desa, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kelembagaan desa. Ketiga faktor ini merupakan modal penting dalam pembangunan desa. 


Dengan demikian, jika desa sobat memiliki sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang berkualitas, dan kelembagaan desa yang kuat, maka desa sobat memiliki potensi untuk berkembang dengan cepat.


Desa: Pengertian, Karakteristik, Unsur, Potensi, dan Permasalahannya

Desa: Pengertian, Karakteristik, Unsur, Potensi, dan Permasalahannya

Desa adalah pemukiman manusia yang lebih kecil daripada kota dan secara umum bertumpu pada sektor primer, dengan struktur sosial yang tradisional dan layanan yang terbatas. Desa memiliki pemerintahan lokalnya sendiri dan memiliki karakteristik yang berbeda di berbagai negara.



Pengertian, Karakteristik, Unsur, Potensi, dan Permasalahan Desa
Apa itu Desa?
Kenapa disebut Desa?
Apa saja ciri khas Desa?
Apa saja permasalahan Desa?


Pengertian Desa dan Perdesaan



Desa berasal dari kata swadesi dalam bahasa India, yang berarti negeri asal, tempat asal, atau tanah leluhur. Biasanya, desa dikaitkan dengan unit sosial terkecil yang terletak di daerah pedesaan, jauh dari keramaian perkotaan. Konsep desa telah diuraikan secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menurut undang-undang tersebut, desa adalah entitas hukum yang memiliki batas wilayah tertentu dan memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan serta memperhatikan kepentingan masyarakat setempat, berlandaskan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, atau tradisi yang berlaku.


Perdesaan adalah daerah yang fokus utamanya pada kegiatan pertanian, yang mencakup pengelolaan sumber daya alam, pemukiman, pelayanan pemerintahan, layanan sosial, dan aktivitas ekonomi.


Selain definisi-definisi desa yang disebutkan diatas, ada juga pengertian lain tentang desa yang dikemukakan oleh para ahli:


  1. Menurut Bintarto, desa adalah hasil dari interaksi berbagai unsur seperti geografi fisik, struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada di suatu tempat, serta hubungannya dengan daerah lain.
  2. Menurut Finch, desa merupakan lokasi tempat tinggal yang bukan menjadi pusat perdagangan.



Karakteristik Desa



Setiap daerah memiliki karakteristik yang membedakan satu sama lain, dan hal ini berlaku pula untuk perbandingan antara wilayah desa dan kota. Berikut ini adalah beberapa elemen yang membedakan wilayah desa dari wilayah perkotaan:



1. Sistem Sosial



Di dalam masyarakat desa, unsur-unsur sosial sangat terkait erat dengan tradisi budaya, adat istiadat, dan norma-norma yang berlaku. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang besar pada semua kegiatan dan peraturan yang ada.



2. Hubungan Kekerabatan



Masyarakat desa memiliki pola interaksi dan hubungan kekerabatan yang sangat kokoh. Oleh karena itu, hampir semua permasalahan biasanya diselesaikan dengan penuh kekeluargaan.



3. Basis Kegiatan Masyarakat



Kegiatan masyarakat desa terpusat pada sektor ekonomi primer, yang berfokus pada pengelolaan sumber daya secara alami. Hal ini mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.



4. Hubungan Masyarakat



Hubungan antarwarga desa sangatlah erat, hal ini dapat dilihat melalui adanya praktik gotong royong yang menjadi ciri khas dalam berbagai kegiatan desa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa masyarakat desa hidup berdampingan dan menganggap setiap tetangga sebagai bagian dari keluarga mereka.



5. Struktur Demografi



Wilayah pedesaan umumnya memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah, dengan rasio luas lahan yang besar dibandingkan jumlah penduduknya. Hal ini berarti lahan di desa memiliki potensi daya tampung yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.



Unsur Vital Desa



Sebagai sebuah entitas geografis, setiap desa memiliki unsur-unsur penting yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan desa. Terdapat tiga unsur utama yang mencirikan sebuah desa, yakni daerah, penduduk, dan tata kehidupan yang mereka anut. Pembahasannya sebagai berikut:



1. Daerah



Daerah pada dasarnya mencakup aspek-aspek seperti lokasi, luas wilayah, dan batas-batas geografis setempat. Wilayah desa terdiri dari berbagai jenis tanah yang digunakan untuk keperluan produktif maupun nonproduktif, dengan fokus utama pada penggunaan lahan pertanian dan perumahan bagi komunitas petani.



2. Penduduk



Penduduk adalah sekumpulan individu yang mendiami wilayah geografis tertentu. Aspek-aspek yang relevan dalam penduduk mencakup jumlah, pertumbuhan, tingkat kepadatan penduduk, pola persebaran, serta mata pencaharian.



3. Tata Kehidupan



Tata kehidupan di desa umumnya mencakup pola interaksi sosial di antara anggota masyarakat serta budaya yang berkembang dalam suatu wilayah. Identitas cara hidup di desa sering kali terkait erat dengan nilai-nilai seperti kerukunan, semangat gotong royong, serta komitmen terhadap tradisi dan budaya setempat.



Potensi Desa



Potensi desa adalah semua sumber daya alam dan manusia yang tersedia di dalamnya, yang dapat dijalankan untuk mendukung kelangsungan hidup dan kemajuan desa tersebut. Konsep potensi desa juga bisa dijelaskan sebagai aset yang dimiliki oleh desa dan mampu untuk dimanfaatkan sebagai solusi permasalahan dan upaya pengembangan desa. Terdapat tiga komponen utama dalam potensi desa, yaitu lingkungan fisik, sumber daya manusia, dan kelembagaan.



1. Lingkungan Fisik



Potensi alam di wilayah pedesaan adalah aspek fisik yang mencakup seperti tanah, sumber daya air, iklim, dan ternak.


  1. Tanah yang mencakup lahan pertanian, sumber daya tambang, dan lahan untuk permukiman.
  2. Sumber daya air yang mencakup pemanfaatannya untuk kebutuhan sehari-hari dan aktivitas ekonomi. 
  3. Iklim, dalam hal ini sebagai elemen vital yang mendukung sektor pertanian dan perkebunan
  4. Hewan ternak adalah potensi yang menjadi nilai tambah bagi perekonomian masyarakat desa.



2. Potensi Sumber Daya Manusia



Sumber daya manusia adalah kombinasi antara kapasitas intelektual dengan keterampilan yang dimiliki oleh individu. Sumber daya manusia yang berkualitas berpotensi menjadi aset berharga yang dapat berkontribusi baik terhadap kemajuan dan pembangunan desa. Peningkatan potensi sumber daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan pengelolaan tenaga kerja. Potensi sumber daya manusia mencakup seluruh komponen masyarakat desa dan juga lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.



3. Kelembagaan Desa



Lembaga atau organisasi desa berperan penting dalam pembangunan desa.Tanpa lembaga desa maka upaya pembangunan infrastruktur desa akan terhambat. Lembaga desa memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendukung pemerintah desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan. Berikut adalah tiga komponen kelembagaan desa:


  1. Masyarakat desa sebagai aktor utama perkembangan desa melalui aktivitas ekonomi, aktivitas sosial kegotong-royongan, serta kegiatan kebudayaan.
  2. Peran lembaga-lembaga sosial dan pendidikan melalui pemberian bantuan sosial dan pengetahuan untuk pemberdayaan masyarakat
  3. Aparatur desa berperan menjaga ketertiban dan keamanan untuk memastikan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa. Aparatur desa bertindak sebagai penjaga tatanan sosial dan hukum untuk kemajuan desa.


Terkait dengan aspek fisik dan sosial yang ada di desa, kita dapat mengidentifikasi tiga kategori potensi desa sebagai berikut:



1.Desa dengan Potensi Tinggi



Desa yang memiliki potensi wilayah yang tinggi dapat dikenali dari berbagai faktor, meliputi lahan pertanian yang subur, topografi datar atau agak miring, tersedianya infrastruktur irigasi yang canggih, tenaga kerja yang produktif, serta lembaga-lembaga desa yang aktif memajukan masyarakatnya.



2. Desa dengan Potensi Sedang



Desa yang memiliki potensi wilayah sedang ditandai oleh beberapa ciri, meliputi lahan pertanian yang kurang subur, penggunaan irigasi teknis sebagian, sementara sebagian lainnya mengandalkan irigasi non-teknis, dan topografi wilayah yang tidak merata.



3. Desa dengan Potensi Rendah



Desa yang memiliki potensi wilayah rendah memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut seperti penggunaan lahan pertanian yang tidak subur, topografi wilayah yang berbukit, kesulitan dalam memperoleh sumber air, serta pertanian yang sangat tergantung pada curah hujan. 



Permasalahan Desa



1. Kondisi Desa Tertinggal



Warga yang tinggal di desa mengalami keterbatasan dalam mengakses layanan sosial, ekonomi, dan politik, serta terkadang terisolasi dari wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, perlu perhatian dan dukungan yang besar dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di desa-desa terpencil. Berikut adalah data perkembangan desa tertinggal di Indonesia.


Diagram Desa Tertinggal Tahun 2019-2022
Diagram Desa Tertinggal Tahun 2019-2022



2. Kemiskinan



Kemiskinan di desa umumnya disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk desa yang hanya memiliki pendidikan dasar. Namun, lapangan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan tersebut terbatas. Oleh karena itu, banyak tenaga kerja dengan pendidikan dasar yang bekerja di sektor ekonomi primer seperti pertanian. Berikut gambaran perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia.


Persentase Tingkat Kemiskinan Tahun 2019-2022
Persentase Tingkat Kemiskinan Tahun 2019-2022


Pada Maret 2022, persentase penduduk miskin mencapai 9,54%, mengalami penurunan sebesar 0,17% dibandingkan dengan September 2021, dan penurunan sebesar 0,60% dibandingkan dengan Maret 2021. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 adalah sekitar 26,16 juta orang, mengalami penurunan sebanyak 0,34 juta orang dibandingkan dengan September 2021, dan penurunan sebanyak 1,38 juta orang dibandingkan dengan Maret 2021.



3. Berkurangnya Tenaga Kerja Akibat Urbanisasi



Daya tarik kota sebagai tujuan urbanisasi mengakibatkan banyaknya tenaga kerja yang melakukan imigrasi. Hal ini tentu berdampak pada kurangnya sumber daya manusia yang berkontribusi dalam pembangunan desa. Kemudahan akses ke pasar dan fasilitas yang lebih baik membuat sebagian masyarakat memilih meninggalkan desa dan hidup di kota. 


Bank Dunia memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan akan mencapai 220 juta pada tahun 2045. Artinya, urbanisasi di Indonesia terus meningkat, dari 56,7% pada tahun 2022 menjadi proyeksi sebesar 70%.


Apa Saja Elemen dan Permasalahan Pengembangan Wilayah?

Apa Saja Elemen dan Permasalahan Pengembangan Wilayah?

Terdapat tiga elemen utama dalam pengembangan wilayah, yakni SDA, SDM, dan teknologi. Dalam pengembangan wilayah di Indonesia, masih terdapat berbagai masalah yang umum dijumpai yang mencakup ketidakmerataan sumber daya dan akses antar wilayah, ketidakseimbangan pembangunan, wilayah tertinggal dan terpencil, serta krisis lingkungan dan sumber daya alam.



Elemen dan Permasalahan Pengembangan Wilayah di Indonesia
3 Elemen Pengembangan Wilayah?
Apa Masalah Pengembangan Wilayah di Indonesia?
Apa solusi Masalah Pengembangan Wilayah di Indonesia?



Elemen Pengembangan Wilayah



Pengembangan wilayah adalah sebuah proses yang melibatkan tiga elemen kunci: sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi.



1. Sumber Daya Alam



Pengembangan wilayah secara umum merupakan usaha untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan tujuan meningkatkan nilai tambah dalam suatu wilayah. Kehadiran sumber daya alam menjadi faktor penting yang mengarahkan perkembangan wilayah tersebut.



2. Sumber Daya Manusia



Sumber daya manusia merupakan modal utama dalam pembangunan. Manusia memiliki peran sebagai pemangku kepentingan atau penggerak dalam proses pembangunan. Tingkat kualitas sumber daya manusia sangat mempengaruhi kesuksesan dalam pengembangan wilayah.



3. Teknologi



Teknologi adalah kunci dalam pengembangan wilayah sebagai alat yang membantu memperlancar proses pembangunan. Pemanfaatan teknologi yang tepat akan mendorong efisiensi dan optimalisasi dalam kegiatan pembangunan, sekaligus mengurangi waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan.



Permasalahan Pengembangan Wilayah



Dalam pembangunan nasional, penerapan pengembangan wilayah dititikberatkan pada strategi-strategi penting yang berguna untuk merangsang pertumbuhan ekonomi yang stabil dan merata. Kestabilan ekonomi dan pemerataan pertumbuhan wilayah adalah elemen penting dalam pembangunan nasional yang secara konsisten menjadi prioritas pada setiap periode pemerintahan. Alasannya adalah karena Indonesia masih menghadapi ketidakmerataan pembangunan antar wilayah serta berbagai tantangan lainnya.


Ketidakmerataan antarwilayah tampak dalam perbedaan antara wilayah barat dan timur Indonesia, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan antara perkotaan dan pedesaan. Wilayah barat Indonesia memiliki infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia. Wilayah Jawa memiliki infrastruktur yang lebih bagus dibandingkan dengan wilayah di luar Jawa.


Demikian pula, perkotaan memiliki fasilitas infrastruktur yang lebih lengkap dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Dengan kompleksitas tantangan pengembangan wilayah yang beragam, langkah-langkah strategis pada penyelesaian masalah pembangunan menjadi semakin penting. 


Masalah-masalah isu strategis dalam pengembangan wilayah Indonesia mencakup:



1. Ketidakmerataan Sumber Daya



Ketidakmerataan dalam persebaran sumber daya terlihat dari kurang optimalnya pengembangan produk unggulan dan lokasi strategis, yang seringkali terpencil dari pusat pertumbuhan ekonomi utama. Hal ini disebabkan oleh kendala akses informasi pasar dan teknologi di lokasi potensial yang jauh dari pusat ekonomi.



2. Ketidakseimbangan Pembangunan Wilayah



Pertumbuhan ekonomi yang pesat terkonsentrasi di kota-kota besar seperti di Jawa dan Bali, sementara kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa, mengalami pertumbuhan yang lambat. Ketidakseimbangan ini memperburuk masalah urbanisasi yang semakin tak terkendali.



3. Ketidakmerataan Akses Fasilitas Antar Wilayah



Infrastruktur dan lembaga pelayanan publik lebih banyak terpusat di daerah perkotaan dan menciptakan ketidaksetaraan dalam pelayanan antar wilayah.



4. Wilayah-wilayah Tertinggal



Wilayah-wilayah tertinggal memerlukan perhatian khusus dalam upaya pemerataan pembangunan. Masyarakat di wilayah ini sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses informasi, layanan sosial, ekonomi, dan politik.



5. Krisis Lingkungan dan Sumber Daya Alam



Pengembangan wilayah juga terkait dengan krisis sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh praktik pembangunan yang kurang mempertimbangkan keberlanjutan, dan kerentanan terhadap bencana tertentu. Meskipun memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, praktik semacam ini dapat menimbulkan kerugian dan krisis lingkungan jangka panjang.



Solusi Permasalahan Pengembangan Wilayah



Ada beberapa strategi dan kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari permasalahan pengembagan tersebut. Berikut merupakan beberapa solusinya.



1. Percepatan pembangunan wilayah strategis



Upaya percepatan pembangunan wilayah strategis secara simultan akan mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya. Secara spesifik upaya ini menekankan pada pengembangan produk unggulan daerah sehingga mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan antar sektor pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat. Sinkronisasi ini penting untuk mendukung peluang usaha dan investasi.



2. Prioritas pengembangan wilayah tertinggal dan terpencil



Implementasi pengembangan wilayah selain berfokus pada kawasan strategis, juga perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi pada wilayah tertinggal dan terpencil. Keberpihakan pemerintah pada wilayah-wilayah ini perlu ditingkatan agar pertumbuhannya dapat terstimulasi lebih cepat dan ketertinggalan pembangunan di wilayah tersebut menjadi semakin berkurang.



3. Pengembangan jaringan prasarana dan sarana antarwilayah



Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas, konektivitas, dan peluang investasi antarwilayah. Hal ini secara langsung dapat menimbulkan keterkaitan positif antara wilayah menjadi lebih maju, dan berkembang.



4. Menekan kesenjangan antarwilayah



Tujuan utama dari pengurangan kesenjangan antar wilayah ialah untuk menyetarakan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat,. Upaya pemerataan ini perlu memperhatikan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah.



5. Peningkatan interaksi ekonomi desa dan kota 



Keterkaitan aktivitas ekonomi di wilayah perkotaan dan perdesaan perlu ditingkatkan agar tercipta sinergi antarwilayah. Hubungan ini secara simultan akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi nonagraris di wilayah perdesaan.



6. Mengembangkan sektor agroindustri padat pekerja untuk kawasan perdesaan



Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi sektor pertanian dan kelautan. Hal ini dapat pula didukung oleh peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan, pengembangan jaringan infrastruktur, peningkatan akses informasi, pemasaran, kesempatan kerja, dan teknologi. Selanjutnya pengembangan social capital dan human capital sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja. Terakhir ialah intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak pada produk pertanian.



7. Mengoptimalkan kebijakan tata ruang wilayah



Pengembangan wilayah perlu memperhatikan aspek penataan ruang yang tepat sehingga terjadi kesinambungan antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Kebijakan penataan ruang harus memuat arahan lokasi kegiatan, batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam.


Pahami Pendekatan dan Arah Pengembangan Wilayah di Indonesia

Pahami Pendekatan dan Arah Pengembangan Wilayah di Indonesia

Pendekatan dan arah pengembangan wilayah nasional, regional, dan lokal merupakan komponen penting dalam upaya merencanakan dan mengelola pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, serta sumber daya manusia di seluruh Indonesia.



Pendekatan dan Arah Pengembangan Wilayah di Indonesia
Apa saja pendekatan dalam perencanaan?
Apa itu Pendekatan Spasial?
Apa itu Pendekatan Sektoral?
Apa Lima Arah Kebijakan Pengembangan Wilayah?


Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas. Menurut Undang-Undang No. 29 tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, negara ini terbagi menjadi 38 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.288 kecamatan, 7.961 desa, dan 8.506 kelurahan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote. 


Tahun 2020 tercatat jumlah penduduk sebanyak 273,5 juta jiwa, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat di masa depan. Pertumbuhan penduduk yang tak terelakkan ini mengharuskan kita untuk mencari ruang tambahan yang diperlukan untuk pemukiman, industri, pertanian, dan kebutuhan wilayah lainnya.



Pendekatan Pengembangan Wilayah



Pengembangan wilayah memiliki peran penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Pendekatan pengembangan wilayah dapat diuraikan dalam dua jenis berikut ini. 


1. Pendekatan Spasial


Pendekatan spasial berfokus pada lokasi atau letak pengembangan suatu wilayah. Pendekatan spasial mempertimbangkan sejumlah elemen kunci dalam suatu wilayah, seperti struktur keruangan, pemanfaatan lahan, dan keterkaitan antarwilayah.


a. Struktur Keruangan


Struktur keruangan menggambarkan sistem pelayanan kegiatan dan jaringan infrastruktur yang dikembangkan untuk mengintegrasikan serta mendukung berbagai fungsi kegiatan dalam wilayah tersebut. 


Sebagai contoh, Kota Malang memiliki beragam layanan yang mencakup pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga pendidikan tinggi, dan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas. Selain itu, kota ini juga menyelenggarakan berbagai kegiatan ekonomi melalui pasar tradisional dan modern, serta terdapat fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan sosial dan rekreasi.


Tak hanya itu, Kota Malang juga memiliki sistem jaringan jalan yang menghubungkan berbagai wilayah di dalam kota ini. Jaringan jalan tersebut menciptakan konektivitas yang penting dalam mendukung berbagai kegiatan ekonomi, sosial, dan aspek lainnya.


b. Pemanfaatan Lahan


Pemanfaatan lahan mengacu pada upaya untuk memanfaatkan lahan secara produktif dan efisien. Sebagai contoh, lahan pertanian dapat diubah menjadi area perumahan, pusat perbelanjaan, ataupun akomodasi.


c. Keterkaitan Wilayah dengan Wilayah Sekitarnya


Keterkaitan antar wilayah mengacu pada jaringan infrastruktur jalan yang menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah-wilayah sekitarnya. Sebagai contoh, Kota Malang telah berhasil terintegrasi dengan wilayah Kota Batu dan Kabupaten Malang melalui jaringan jalan yang mencakup baik jalan besar maupun jalan kecil. Koneksi ini merangkul berbagai tipe wilayah, termasuk wilayah formal dan wilayah nodal yang berperan penting dalam dinamika regional.


2. Pendekatan Sektoral


Pendekatan sektoral adalah perspektif yang memandang seluruh aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah perencanaan dalam kelompok-kelompok sektor yang berfokus pada berbagai kegiatan manusia. Analisis pendekatan sektoral dilakukan secara cermat melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:


  1. Sektor mana yang Memiliki Keunggulan Kompetitif dalam Pasar Global?
  2. Sektor apa saja yang Dapat Dikategorikan sebagai Basis dan Nonbasis?
  3. Sektor mana yang Memiliki Nilai Tambah yang Signifikan?
  4. Sektor Mana yang Menyerap Tenaga Kerja Lebih Besar?


Keempat pertanyaan ini menjadi panduan dalam penentuan pengembangan sektor-sektor tertentu, seperti sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer dapat mencakup pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya. Sementara itu, sektor sekunder mencakup berbagai jenis industri seperti industri pangan, tekstil, perumahan, industri berat, sedang, dan kecil. Terakhir, sektor tersier berupa jasa seperti perdagangan, pendidikan, dan kesehatan.


Selanjutnya, masing-masing sektor akan dianalisis secara rinci. Dalam analisis ini, potensi dan peluang dari setiap sektor diperhatikan, dan selanjutnya ditentukan elemen-elemen yang bisa ditingkatkan dan lokasi mana yang tepat untuk melaksanakan upaya peningkatan tersebut. 


Sebagai contoh, dalam analisis sektor pertanian dapat dipecah menjadi subsektor seperti tanaman pangan, palawija, dan buah-buahan. Setiap subsektor ini memiliki berbagai komoditas yang berbeda. Bahkan, komoditas tersebut dapat dirinci lebih lanjut untuk mengidentifikasi komoditas dominan. Sebagai contoh, subsektor bahan makanan dapat dibagi menjadi komoditas seperti beras, kacang-kacangan, dan sayuran.


Penerapan pendekatan sektoral adalah langkah konkret dalam menjalankan pengembangan wilayah nasional yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dokumen-dokumen perencanaan tersebut mengandung serangkaian kebijakan lintas sektor yang menjadi panduan dalam pelaksanaan pengembangan wilayah di Indonesia.


Arah Kebijakan Pengembangan Wilayah Nasional, Regional, dan Lokal


Pengembangan wilayah nasional memerlukan suatu arah kebijakan yang jelas. Secara nasional, terdapat lima arah kebijakan pengembangan wilayah yang diuraikan sebagai berikut:


1. Pengembangan Potensi Ekonomi


Arah pengembangan ini dilaksanakan melalui pemberdayaan pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki oleh setiap wilayah.


2. Pembangunan Konektivitas Antar Wilayah


Arah pengembangan ini bertujuan untuk memperluas pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan menuju wilayah penyangga di sekitarnya (hinterland).


3. Optimalisasi Sumber Daya Manusia dan IPTek


Arah pengembangan ini melibatkan pemberdayaan tenaga kerja untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri di masing-masing pusat pertumbuhan.


4. Peninjauan Regulasi dan Kebijakan


Arah pengembangan ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan wilayah. Peninjauan regulasi melibatkan serangkaian proses evaluasi dan perubahan regulasi yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi.


5. Peningkatan Iklim Usaha dan Investasi


Arah pengembangan ini melibatkan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di kawasan strategis dengan delegasi kewenangan perizinan dari kepala daerah kepada Kepala PTSP.


Sejalan dengan pengembangan wilayah nasional, pelaksanaan pengembangan wilayah di tingkat regional juga mengacu pada dokumen-dokumen seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dokumen-dokumen ini secara khusus membahas kondisi spasial, ekonomi, potensi alam, demografi, dan sumber daya manusia yang ada di wilayah setempat serta rencana pengembangan wilayah yang akan dijalankan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pembangunan.


Pelaksanaan pengembangan wilayah pada tingkat lokal secara hierarkis mengacu pada dokumen perencanaan pembangunan wilayah administratif yang lebih besar. Sebagai contoh, dalam perumusan RPJMD wilayah desa, meskipun desa memiliki otonomi, strategi dan arah pembangunan harus sesuai dengan visi dan misi wilayah administratif yang berada di atasnya, yaitu kabupaten/kota. 


Pendekatan pengembangan wilayah yang terstruktur akan mencegah tumpang tindih kebijakan dan mendorong hubungan fungsional yang harmonis antarwilayah di Indonesia. Dengan demikian, hubungan fungsional ini pada akhirnya akan memajukan pertumbuhan ekonomi hingga ke wilayah pedesaan.


Apa Teori, Tujuan serta Prinsip Pengembangan Wilayah?

Apa Teori, Tujuan serta Prinsip Pengembangan Wilayah?

Pengembangan wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di suatu area geografis tertentu.Terdapat beberapa prinsip penting seperti keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan, yang menjadi landasan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu teori pengembangan wilayah yang relevan adalah teori agropolitan, yang menekankan penggabungan antara sektor pertanian dan industri untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan meminimalkan disparitas antara wilayah pedesaan dan perkotaan.

 


Teori, Tujuan serta Prinsip Pengembangan Wilayah
Apa tujuan dari pengembangan wilayah?
Apa saja teori pengembangan wilayah?
Tiga pilar pengembangan wilayah?



Tujuan Pengembangan Wilayah



Terdapat beberapa tujuan pengembangan wilayah yang harus dipertimbangkan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai, yaitu sebagai berikut:


1.Mewujudkan Pemerataan Pertumbuhan Wilayah


Tujuan dari pemerataan pertumbuhan wilayah adalah untuk mengurangi disparitas dan mengurangi jumlah daerah yang tertinggal akibat ketidakmerataan pembangunan. Hal ini merupakan fokus utama dalam pengembangan wilayah, yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara menyeluruh demi mencapai kesejahteraan masyarakat.


2.Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional


Stabilitas ekonomi nasional didefinisikan sebagai kondisi ekonomi negara yang kondusif dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kondisi ekonomi yang kondusif ini dikaitkan dengan stabilitas harga barang dan jasa, peningkatan daya beli masyarakat, serta pertumbuhan pendapatan nasional yang berkelanjutan. Stabilitas ekonomi menjadi salah satu prioritas utama dalam pengembangan wilayah karena berhubungan erat dengan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat.


3.Mendorong Pertumbuhan Wilayah yang Efisien


Pertumbuhan wilayah yang efisien dipengaruhi oleh infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk masyarakat. Infrastruktur ini secara bersamaan meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong aktivitas yang tinggi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pertumbuhan wilayah tidak hanya terbatas pada satu wilayah saja, tetapi juga dapat merangsang pertumbuhan wilayah lain di sekitarnya.



Prinsip Pengembangan Wilayah



Implementasi pengembangan wilayah didasarkan pada beberapa prinsip. Terdapat empat prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah, yakni:


  1. Pengembangan wilayah tidak hanya berfokus pada pembangunan internal wilayah tertentu, tetapi juga bertujuan untuk mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya.
  2. Keberhasilan pengembangan wilayah sangat bergantung pada kerja sama lintas sektoral dan kolaborasi antarwilayah.
  3. Pola pengembangan wilayah harus bersifat integral, dengan mengintegrasikan berbagai daerah yang termasuk dalam wilayah pembangunan.
  4. Dalam pengembangan wilayah, penting untuk mempertimbangkan mekanisme pasar dan kondisi ekonomi sebagai prasyarat dalam perencanaan pembangunan.



Teori Pengembangan Wilayah



Teori-teori dalam pengembangan wilayah berfokus pada tiga pilar utama, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan elemen esensial yang mendukung pencapaian pengembangan wilayah yang optimal, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan alam.


Tiga teori pengembangan wilayah yang perlu dipahami meliputi teori kutub pertumbuhan, teori lokasi, dan teori agropolitan. Berikut adalah uraian singkat tentang ketiga teori tersebut.



1. Teori Kutub Pertumbuhan



Teori Kutub Pertumbuhan (The Growth Pole Theory) pertama kali dikemukakan oleh Francois Perroux pada tahun 1955, menyatakan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tidak merata di seluruh wilayah, melainkan terfokus pada beberapa lokasi tertentu yang disebut sebagai "kutub pertumbuhan." Lokasi ini menjadi pusat aktivitas ekonomi yang padat, dengan harapan akan memberikan dampak positif pada wilayah sekitarnya, yang dikenal sebagai efek penjalaran (spread).


Percepatan aktivitas ekonomi di kutub pertumbuhan juga memicu aliran investasi ke wilayah-wilayah di bawahnya yang memiliki hierarki ekonomi yang lebih rendah. Fenomena ini dikenal dengan istilah "trickling down effect." Selain itu, dalam teori kutub pertumbuhan juga dikenal istilah “backwash”, yang terjadi ketika kemajuan ekonomi di wilayah kutub pertumbuhan menyerap sumber daya tenaga kerja dan modal ekonomi dari wilayah lain, sehingga menghambat pertumbuhan wilayah di sekitarnya. Wilayah yang terkena efek ini kemudian mengalami kemunduran dan disebut "daerah peri-peri."


Lokasi kutub pertumbuhan dalam teori ini mengacu pada daerah yang memiliki industri-industri utama dan berfungsi sebagai pusat berbagai aktivitas ekonomi yang dapat mendorong perkembangan industri lain di sekitarnya. Karakteristik utama wilayah yang cocok sebagai kutub pertumbuhan adalah sebagai berikut:


a) Memiliki berbagai sektor ekonomi yang saling terkait dan beragam. Wilayah pertumbuhan yang ideal harus menampilkan aktivitas ekonomi yang heterogen dan berhubungan satu sama lain. Keterkaitan ekonomi ini akan menghidupkan perekonomian dan mendorong kemajuan wilayah secara menyeluruh.


b) Terdapat sektor-sektor yang saling mendukung, menciptakan “multiplier effect” yang merata dalam kehidupan masyarakat.


c) Terdapat konsentrasi geografis dalam wilayah tersebut, yang mencakup beragam sumber daya alam dan sumber daya manusia. Konsentrasi ini menjadi modal awal untuk aktivitas ekonomi seperti pertukaran barang dan jasa. 


d) Wilayah pusat pertumbuhan harus mendorong perkembangan wilayah-wilayah penyangga di sekitarnya, karena wilayah penyangga berperan dalam menyediakan bahan baku bagi kegiatan ekonomi di wilayah pusat. Pertumbuhan wilayah penyangga akan menentukan kemajuan ekonomi wilayah pusat.


Implementasi teori kutub pertumbuhan dalam pembangunan nasional tercermin dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang membagi negara ini menjadi empat pusat pertumbuhan regional: Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Setiap pusat pertumbuhan ini kemudian dibagi lagi menjadi beberapa wilayah pembangunan. Lebih jauh, penggolongan wilayah pusat pertumbuhan di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut.


Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pembangunan di Indonesia
Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pembangunan di Indonesia



2. Teori Lokasi



Teori lokasi merupakan salah satu dasar penting dalam merencanakan pembangunan berbasis wilayah. Prinsip-prinsip dasar dalam teori ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan lokasi kegiatan ekonomi sehingga wilayah tersebut dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal.


Beberapa teori fundamental yang berkembang dalam teori lokasi meliputi teori klasik (teori sewa tanah), teori lokasi optimum, dan teori lokasi sentral.



A. Teori Klasik (Teori Sewa Tanah)



Konsep teori ini pertama kali diperkenalkan oleh J.H. von Thunen pada tahun 1982. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai sewa lahan pertanian ditentukan oleh jaraknya dari pusat kota atau pasar. Von Thunen berpendapat bahwa semakin jauh lahan pertanian dari pusat kota, semakin rendah nilai sewanya.


Asumsi ini didasarkan pada perbedaan manfaat biaya transportasi dari lokasi lahan yang berdekatan atau jauh dari pusat kota. Semakin besar jarak lahan pertanian dari pusat kota, semakin tinggi biaya transportasinya, dan sebagai akibatnya, harga jual produk pertanian akan lebih tinggi. Sebaliknya, jika lahan pertanian berdekatan dengan pusat kota, biaya transportasi akan lebih rendah, dan harga jual produk akan lebih terjangkau.


Gagasan dalam teori sewa tanah ini mencakup: 

  1. Lahan pertanian yang jauh dari pusat kota memaksa petani untuk menjual hasil panennya dengan jarak yang cukup jauh. 
  2. Nilai sewa lahan pertanian bervariasi berdasarkan jaraknya dari pusat kota. 
  3. Produsen tersebar di wilayah luas, sementara konsumen berkumpul di pusat kota atau pasar. 


Ketiga konsep ini penting dalam perencanaan wilayah, terutama dalam menentukan lokasi kegiatan ekonomi. Untuk memahami teori lokasi klasik lebih baik, mari kita lihat ilustrasinya.


Teori Lokasi Von Thunen
Teori Lokasi Von Thunen



B. Teori Lokasi Optimum



Alfred Weber memperkenalkan teori lokasi optimum pada tahun 1909. Teori ini berfokus pada prinsip biaya minimum dalam menentukan lokasi industri yang menguntungkan. Weber menyatakan bahwa lokasi industri yang optimal adalah di wilayah dengan biaya transportasi dan tenaga kerja paling rendah. Faktor-faktor kunci dalam teori ini adalah transportasi, upah tenaga kerja, dan aglomerasi industri.


Teori ini memberikan kebebasan bagi pelaku industri untuk menentukan lokasi optimal mereka. Namun, Weber mengembangkan tiga skema analisis berdasarkan dua faktor utama: indeks material dan berat lokasional. Indeks material mengukur perbandingan berat bahan baku dan produk akhir yang akan dipasarkan. Berat lokasional mencakup berat total yang harus diangkut dari tempat produksi, termasuk bahan baku, bahan bakar, hingga produk akhir.


Gambar A: Jika produk akhir lebih berat daripada bahan baku awal, lokasi optimum cenderung dekat dengan pasar.

Gambar B: Jika produk akhir lebih ringan daripada bahan baku awal, lokasi industri cenderung dekat dengan bahan baku.

Gambar C: Jika perbandingan berat produk awal dan akhir tidak berubah signifikan, lokasi optimum berada di antara bahan baku dan pasar.


Skema Penentuan Lokasi Optimum
Skema Penentuan Lokasi Optimum


  1. Skema A mengindikasikan indeks material kurang dari 1, yang berarti produk akhir lebih berat daripada bahan baku. Oleh karena itu, lokasi optimum harus dekat dengan pasar untuk meminimalkan biaya transportasi. 
  2. Skema B mengindikasikan indeks material lebih dari 1, yang mengharuskan lokasi industri dekat dengan bahan baku. 
  3. Skema C menggambarkan situasi di mana berat produk awal dan akhir hampir sama, sehingga lokasi optimum berada di tengah-tengah.


Selain meminimalkan biaya, penentuan lokasi industri berdasarkan skema ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi dan mengurangi ketidaknyamanan dalam pengangkutan material yang berat.



C. Teori Lokasi Sentral



Teori ini dikembangkan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dan membahas model hierarki perkotaan dalam sistem geometri berbentuk heksagonal. Teori ini membantu menentukan lokasi ideal untuk pusat-pusat pelayanan berdasarkan tingkat wilayahnya.


Dalam teori ini, ada dua variabel kunci yang mempengaruhi penentuan lokasi pusat pelayanan, yaitu threshold (nilai minimum yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas produksi) dan range (jarak maksimum yang harus ditempuh oleh penduduk untuk mendapatkan barang/jasa di lokasi sentral). Lokasi sentral terbentuk melalui interaksi antarwilayah perdagangan yang digambarkan dalam lingkaran yang tumpang tindih dan menciptakan bidang heksagonal yang lebih luas.


Teori lokasi sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hierarki pusat kota yang saling terkait dalam sistem fungsional. Beberapa asumsi dasar dalam teori ini meliputi topografi wilayah yang datar, mobilitas dalam semua arah, penyebaran penduduk dan daya beli yang merata, serta preferensi pembeli terhadap jarak minimum.



3. Teori Agropolitan



Teori agropolitan adalah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan meratakan pembangunan. Secara etimologis, istilah agropolitan berasal dari gabungan kata "agro," yang merujuk kepada pertanian, dan "polis," yang mengacu kepada kota. Oleh karena itu, agropolitan dapat diartikan sebagai pengembangan wilayah yang menggabungkan kegiatan ekonomi pertanian di pedesaan dengan sektor industri.


Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Friedman dan Douglass pada tahun 1978, berawal dari pemikiran Myrdal yang menekankan pentingnya penyebaran fasilitas secara merata untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah desa dan kota. Konsep dasar dalam paradigma ini menitikberatkan pada penyediaan fasilitas yang setara dengan kota untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Fasilitas ini dapat mencakup dukungan ekonomi, kegiatan sosial dan budaya, serta layanan sehari-hari. Keberadaan pusat pelayanan semacam ini memberikan manfaat besar bagi petani karena membantu mengurangi biaya produksi dan biaya pemasaran mereka.