Tampilkan postingan dengan label Meteorologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Meteorologi. Tampilkan semua postingan
Jenis-Jenis Presipitasi Serta Proses Terbentuknya

Jenis-Jenis Presipitasi Serta Proses Terbentuknya

Presipitasi adalah fenomena alam di mana uap air di atmosfer mengalami perubahan bentuk menjadi tetesan air atau kristal es dan turun ke permukaan bumi. Berbagai fenomena cuaca yang kamu lihat seperti hujan, salju, hujan es, termasuk dalam kategori presipitasi.


Artikel ini menjelaskan tentang
jenis-jenis presipitasi dan proses tekbentuknya.
Hujan, Salju, Sleet, Hail, dan Graupel.


Teman-teman semuanya pasti sudah sangat familiar dengan hujan. Hujan yang selama ini kita lihat adalah salah satu dari banyak jenis presipitasi di bumi. Presipitasi adalah fenomena alam yang menakjubkan di mana uap air di atmosfer berubah menjadi tetesan air atau kristal es yang jatuh ke permukaan bumi. Dalam artikel kali ini, kita akan membahas tentang jenis-jenis presipitasi. Mulai dari jenis yang paling familiar untuk kita seperti hujan hingga bola-bola kecil bernama graupel.   


A. Pengertian Presipitasi


Presipitasi adalah fenomena alam di mana uap air di atmosfer mengalami perubahan bentuk menjadi tetesan air atau kristal es dan turun ke permukaan bumi. Berbagai fenomena cuaca yang kamu lihat seperti hujan, salju, hujan es, termasuk dalam kategori presipitasi.


Proses presipitasi dimulai dari evaporasi air di laut, sungai, danau, tumbuh-tumbuhan dan tanah. Uap air yang terangkat ke atmosfer kemudian mengalami pendinginan dan kondensasi, di mana uap air tersebut berubah menjadi tetesan-tetesan air atau kristal-kristal es yang cukup berat atau sudah dalam keadaan jenuh lalu kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi.


Baca Juga: Proses Presipitasi: Kolisi-Koalesensi dan Bergeron-Findeisen


B. Jenis-Jenis Presipitasi


1. Hujan


Hujan adalah jenis presipitasi yang paling banyak dijumpai. Walaupun demikian, masih banyak miskonsepsi terkait pengertian hujan. Oleh ahli meteorologi mendefinisikan secara spesifik bahwa ukuran partikel butir air yang turun harus lebih besar dari 0,5 mm. Apabila berukuran di bawah dari 0,5 mm maka disebut sebagai drizzle. Di Indonesia, drizzle lebih banyak disebut sebagai gerimis dan merupakan hasil presipitasi dari awan stratus.   

 

Terkadang, hujan yang jatuh tidak mencapai permukaan bumi. Fenomena ini dikenal sebagai virga. Fenomena ini sering terjadi di wilayah kering seperti gurun, penyebabnya karena tetes air yang jatuh langsung mendapatkan radiasi panas dari permukaan bumi lalu kemudian menguap dan kembali terkondensasi.   


Virga


Pada saat terjadinya hujan, ada dua fenomena unik yang mungkin teman-teman tidak sadari. Setiap hujan turun atau setelah hujan selesai seringkali tercium aroma unik dan juga udara terasa bersih. Fenomena adanya aroma unik ini berasal dari aktivitas bakteri-bakteri tanah. Hujan yang jatuh akan menekan tanah dan melepaskan gas yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut. 


Selanjutnya, udara yang terasa bersih karena hujan yang turun telah menggiring partikel-partikel tersuspensi di udara seperti nitrogen dan sulfur. Akibatnya, terjadi hujan asam yang mampu merusak tanaman dan mempercepat korosi pada benda logam.     


Unique Fact. Karena gaya updraft dan downdraft
yang kuat, kalian bisa merasakan dua kondisi
cuaca yang berbeda di tempat yang berdekatan


2. Salju


Salju merupakan hasil dari proses bergeron. Sebagian besar dari presipitasi yang mencapai tanah dimulai sebagai salju. Ketika musim panas, level pembekuan uap air lebih tinggi dan kepingan salju yang jatuh dari awan akan mencair sebelum mencapai permukaan dan akan menjadi hujan biasa. Namun, ketika musim dingin, level pembekuan jauh lebih rendah dan kepingan salju yang jatuh berpeluang untuk bertahan lebih lama.    


Faktanya, kepingan salju dapat jatuh sekitar 300 meter di bawah level pembekuan sebelum benar-benar mencair. Hal ini bisa diidentifikasi melalui warna dasar awan yang cenderung lebih gelap karena salju dapat menghamburkan cahaya  lebih efektif dibanding dengan air biasa. Ilustrasi gambar dibawah. 


Salju menghamburkan cahaya lebih baik daripada air biasa. 



3. Sleet dan Freezing Rain


Sleet merupakan hujan es di mana salju yang telah terbentuk melalui sebuah lapisan yang hangat yang menyebabkan salju mencair kemudian membeku lagi akibat adanya lapisan yang dingin di dekat permukaan. Hasil akhir dari proses ini bukanlah kepingan salju (snowflakes), melainkan ice pellet.


Proses terbentuknya sleet.
Kepingan salju mencair lalu membeku kembali


Bentuk ice pellet hasil dari proses sleet


Terkadang, lapisan untuk mendinginkan kembali air yang sudah meleleh ini terlalu dangkal, sehingga droplets jatuh ke bumi dalam bentuk air superdingin. Kejadian ini dinamakan sebagai freesing rain atau glaze, ketika air superdingin ini bersentuhan dengan permukaan tertentu seperti dahan dan ranting tumbuhan, akan terbentuk es di permukaan tersebut yang dikenal sebagai rime.


Rime: hasil dari proses freezing rain atau glaze.
Terbentuk dari kepingan salju yang telah meleleh
dan jatuh ke permukaan benda lalu membeku.


Rime: hasil dari proses freezing rain atau glaze ini,
mampu merusak jaringan kabel dan ranting pohon


4. Hail


Bentuk hailstone


Hail adalah jenis presipitasi dalam bentuk batu es, yang disebut sebagai hailstone. Hailstone dapat terbentuk di sebuah awan cumulonimbus. Updraft dan downdraft yang berulang-ulang akan membuat partikel es dapat menangkap banyak droplets. Proses ini terjadi di bagian cumulonimbus dengan suhu di bawah 0 derajat celsius, sehingga jenis presipitasi ini bisa saja terjadi di daerah tropis. 


Proses pembentukan Hailstone.
Updraft dan Downdraft secara berulang
sehingga terbentuk lapisan-lapisan pada hailstone
 



5. Graupel




Graupel adalah salju yang mencair dan menjadi sangat dingin saat jatuh ke permukaan yang hangat dan membentuk ice pellets. Proses ini disebut sebagai accretion. Tekstur Graupel lebih lembut dan rapuh daripada hailstone dan berukuran 2 hingga 5 mm serta terbentuk dalam proses riming. Proses riming terjadi ketika tetesan air yang sangat dingin di bawah 32 derajat membeku menjadi kristal salju.



12 Jenis Awan Unik dan Aneh yang Mungkin Pernah Kamu Lihat

12 Jenis Awan Unik dan Aneh yang Mungkin Pernah Kamu Lihat

Artikel kali ini menjelaskan tentang 12 jenis
awan unik dan aneh. Mulai dari yang berbentuk seperti
piring terbang hingga payudara mamalia.


Langit yang luas dan biru selalu menyimpan pesona alam yang menakjubkan. Salah satu fenomena alam yang menarik dan mengagumkan adalah awan. Sebagian besar dari kita mungkin hanya menganggap awan sekedar sebagai pembawa hujan yang berwarna putih dengan bentuk menyerupai kapas. Tetapi sebenarnya ada banyak jenis awan yang unik dan aneh yang mungkin pernah kamu lihat namun tidak kamu sadari.  


Dalam artikel kali ini, kita akan mengeksplorasi 12 jenis awan yang luar biasa, langka, dan aneh. Mulai dari awan yang menyerupai lukisan indah hingga yang mengisyaratkan cuaca ekstrem. Langit selalu penuh dengan kejutan yang tak terduga. Silahkan disimak!


1. Awan Lenticularis




Awan Lenticularis berasal dari kata lenticula yang artinya berbentuk lensa. Awan ini memang memiliki bentuk menyerupai lensa maupun piring terbang. Tak heran, jika banyak masyarakat yang ketika baru melihat jenis awan ini mengira bahwa awan tersebut adalah UFO. Awan ini sering muncul di atas pegunungan atau dataran tinggi. Awan jenis ini menjadi petunjuk bahwa adanya turbulensi serta angin yang kencang di atmosfer.


2. Awan Fractus




Awan Fractus berasal dari kata frangere yang artinya berbentuk pecahan. Awan jenis ini memang terlihat seperti potongan-potongan atau serpihan kecil awan yang tersebar di langit. Awan jenis ini adalah hasil dari awan-awan besar yang hancur atau terbelah karena angin kencang atau perbedaan suhu di atmosfer. 


3. Awan Humilis




Awan Humilis memiliki arti berbentuk bongkahan cumulus yang kecil-kecil. Awan ini dikenal pula sebagai awan Cumulus Humilis. Awan humilis paling sering dijumpai dan memiliki bentuk yang lembut seperti bulu halus. Keberadaan awan humilis biasanya tidak terlalu tinggi dan menjadi pertanda cuaca yang cerah.


4. Awan Congestus




Awan Congestus berasal dari kata congere yang artinya berbentuk tumpukan. Awan ini dikenal pula sebagai awan Cumulus Congestus dengan bentuknya yang besar dan ujungnya terlihat berbulu. Awan Congestus sering terlihat ketika di pagi dan siang hari saat udara hangat naik secara konvektif. Awan ini memiliki ciri berwarna putih dan abu-abu di bawahnya.


5. Awan Calvus




Awan Calvus yaitu bagian dari awan cumulonimbus yang telah menghilang sebagian, sesuai dengan arti calvus yaitu botak. Awan ini memiliki bentuk yang menonjol seperti gunung kecil berbentuk bulat atau kerucut di bagian atasnya. Meskipun jenis awan ini tidak membawa hujan, tapi ia dapat berkembang menjadi awan Cumulonimbus yang merupakan awan badai. Puncak awan calvus menyerupai gunung kecil menjadi tanda cuaca ekstrem akan datang.


6. Awan Capillatus




Awan Capillatus yakni awan gumpalan dengan bagian ujung atau ekornya yang menyerupai serat atau benang-benang halus yang terangkat dari bagian atas awan-awan lain seperti cumulus dan stratus. Awan jenis ini menunjukkan adanya perubahan cuaca atau perkembangan lebih lanjut dari awan dibawahnya. 


7. Awan Undulatus




Awan Undulatus berasal dari kata Unda yang berarti awan berbentuk gelombang. Awan ini terlihat seperti lautan yang bergelombang akibat dari turbulensi atmosfer yang mengakibatkan perbedaan kecepatan angin di berbagai lapisan awan.  


8. Awan Translucidus




Awan Translucidus berasal dari kata translucere yang artinya mencakup daerah luas namun masih dapat ditembus oleh cahaya matahari atau bulan. Awan ini memiliki struktur dan komposisi yang tipis sehingga cahaya dari langit dapat tembus dengan mudah.


9. Awan Incus




Awan Incus memiliki arti datar di bagian atasnya seperti bentuk Anvil. Jenis awan ini biasanya ditemukan di bagian atas awan kumulonimbus yang merupakan awan badai. Awan incus terbentuk disebabkan karena hembusan angin yang menyebabkan kumulonimbus melebar secara horizontal. 


10. Awan Mammatus




Awan Mammatus berasal dari kata mamma yang berarti seperti kelenjar susu mamalia. Awan ini seringkali disebut sebagai awan payudara. Awan mammatus memiliki bentuk yang menonjol seperti kantung atau gumpalan di bawah awan. Awan jenis ini terbentuk setelah badai atau hujan lebat dari awan cumulonimbus yang mengalami gaya downdraft.


11.Awan Pileus




Awan Pileus memiliki arti berbentuk seperti topi yang menutupi awan lain dibawahnya. Jenis awan ini terjadi ketika awan berbentuk kerucut atau cumulus naik vertikal secara cepat dan menyentuh awan di atasnya.


12. Awan Castellanus




Awan Castellanus berasal dari kata castellum yang memiliki arti berbentuk seperti kastil-kastil kecil. Awan ini terlihat seperti menara dari lapisan awan dibawahnya. Bentuknya yang menonjol tak lain dari pertumbuhan vertikal awan kumulus yang berkembang cepat.

4 Jenis Proses Pembentukan Awan. Simak Penjelasannya

4 Jenis Proses Pembentukan Awan. Simak Penjelasannya

Artikel ini menjelaskan tentang 4 Jenis Proses
Pembentukan Awan: Konvektif, Orografis, Frontal,
dan Vertikal. Simak penjelasannya.



Pernahkah kalian menatap langit yang biru dan terpesona dengan awan yang beraneka ragam bentuk?. Awan adalah salah satu keindahan alam yang setiap hari bisa kita nikmati hanya dengan mendongakkan kepala ke langit. Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya bagaimana awan tersebut terbentuk?. 


Ternyata dibalik pesona dan keanggunannya, awan menyimpan rahasia dari proses kompleks yang terjadi di atmosfer kita. Dalam artikel kali ini, mari kita melangkah bersama membuka tirai rahasia empat proses pembentukan awan. 


A. Pengertian Awan dan Komposisinya




Awan adalah kumpulan partikel air maupun kristal es yang terkondensasi di atmosfer bumi. Ingat kembali bahwa awan merupakan bagian dari siklus hidrologi yang menjadi media distribusi air di permukaan bumi. Awan dapat berupa formasi putih, abu-abu, maupun gelap tergantung pada jenis, tinggi dan komposisi partikel di dalamnya. Partikel-partikel tersebut berupa uap air, debu, dan berbagai polutan lainnya.


B. Faktor Utama Pembentukan Awan


Faktor pembentukan awan dibawah ini adalah lima parameter atau unsur-unsur cuaca dan iklim, yakni;


1. Suhu Udara

Kenaikan suhu udara mempengaruhi proses pembentukan awan. Jika suhu udara meningkat, maka uap air akan naik dan mengalami ekspansi secara adibatik.


Penjelasan tentang proses adiabatik silahkan dicek disini: Proses Adiabatik Kering dan Basah: Penentu Stabilitas Atmosfer


2. Intensitas Sinar Matahari

Besarnya radiasi atau paparan sinar matahari yang sampai di bumi, akan meningkatkan suhu permukaan dan atmosfer bumi.


3. Angin

Cepat atau lambatnya angin, akan mempengaruhi pula proses perawanan. Jika angin berhembus dengan cepat maka cepat pula uap air mengalami kondensasi.


4. Kelembapan Udara

Kelembapan udara dipahami sebagai jumlah uap air yang ada pada udara. Jika kandungan uap air pada udara tinggi maka potensi untuk terbentuknya awan hasil dari proses kondensasi juga tinggi.


5. Tekanan Udara

Perbedaan tekanan udara pada daratan dengan atmosfer ataupun antara dua wilayah, mempengaruhi kecepatan angin dalam mendukung proses kondensasi. Semakin besar perbedaan tekanan udaranya, maka semakin cepat pula kecepatan angin yang terbentuk, dan berlaku juga sebaliknya.


C. Proses Pembentukan Awan


Gambar: a. konvektif, b. orografis,
c. konvergensi/vertikal, d. frontal
 

1. Pembentukan Awan Konvektif


Pembentukan awan secara konvektif terjadi ketika udara hangat di permukaan bumi naik secara vertikal karena tekanannya yang lebih rendah daripada udara disekitarnya. Ingat kembali bahwa atmosfer memilki kemampuan untuk menstabilkan kondisinya dengan meratakan suhu parsel udara yang ada di lingkungannya. 


Penjelasan tentang stabilitas atmosfer di artikel berikut: 3 Kriteria Stabilitas Atmosfer: Stabil, Tidak Stabil, dan Netral


Saat parsel udara naik, suhunya mengalami penurunan yang cepat akibat tekanan udara yang semakin rendah. Proses ini menyebabkan parsel udara mendingin hingga mencapai titik embun dan mengalami prose kondensasi yang selanjutnya berubah menjadi tetes-tetes air. Tetes air inilah yang kemudian bergabung, berkembang dan membentuk awan cumulus yang sering terlihat seperti kapas di langit.  


2. Pembentukan Awan Orografis




Pembentukan awan secara orografis terjadi ketika angin yang membawa uap air bertemu dengan topografi penghalang seperti gunung dan dataran tinggi. Ketika angin tersebut hendak menabrak bidang permukaan topografi penghalang tersebut, ia dipaksa naik lebih tinggi sehingga uap air mengalami pendinginan dan terjadi kondensasi. 


Pembentukan awan jenis ini seringkali menghasilkan awan lenticularis yang berbentuk topi menyelimuti puncak gunung. 


3. Pembentukan Awan Frontal


Pembentukan awan secara frontal terjadi ketika dua massa udara dengan suhu dan kelembapan udara yang berbeda bertemu. Hal ini memaksa massa udara yang lebih hangat untuk naik diatas massa udara dingin lalu kemudian mengalami kondensasi.


Pembentukan awan jenis ini seringkai menghasilkan awan nimbostratus yang merupakan awan hujan. 


4. Pembentukan Awan Vertikal


Pembentukan awan secara vertikal kurang lebih sama dengan proses pembentukan secara frontal, yakni akibat dari pertemuan dari dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembapan, lalu kemudian massa udara yang lebih hangat naik diatas massa udara dingin dan menyebabkan kondensasi. 


Proses ini terjadi dalam skala yang lebih kecil dari pada proses pembentukan secara frontal yang mampu mencakup ratusan kilometer.

Proses Presipitasi : Kolisi-Koalesensi dan Bergeron-Findeisen

Proses Presipitasi : Kolisi-Koalesensi dan Bergeron-Findeisen

Artikel ini menjelaskan tentang
dua proses pembentukan presipitasi yakni
Proses Kolisi-Koalesensi untuk awan panas
dan Proses Bergeron-Findeisen untuk awan dingin.



Presipitasi didefinisikan sebagai bentuk air entah itu padat atau cair yang jatuh dari awan dan mencapai permukaan bumiPresipitasi adalah bagian dari siklus hidrologi dan merupakan proses yang memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan kehidupan. 

Dengan kondisi iklim Indonesia kita hanya mengetahui satu jenis presipitasi yakni hujan, sedangkan negara-negara di lintang menengah mengenal beberapa jenis presipitasi seperti snow, sleet, hail, graupel, haze


Proses Presipitasi


Sebelum presipitasi ada proses panjang dari evapotranspirasi dan kondensasi. Ada suatu fakta yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu adanya efek kurvatur pada pembentukan titik-titik air (droplets) di awan. Efek kurvatur ini menyatakan bahwa tekanan yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan (equilibrium) pada permukaan yang datar akan lebih kecil daripada permukaan yang melengkung. Hal ini disebabkan karena permukaan yang melengkung cenderung tidak stabil dibandingkan dengan permukaan yang datar, dan kondisi ini sering ditemui di pembentukan droplets Karena inti kondensasi biasanya berbentuk bulatan.




Konsekuensi dari efek kurvatur ini adalah diperlukannya uap air yang tinggi dan kelembapan yang tinggi agar droplets dapat berkembang menjadi lebih besar. Apabila digambar pada grafik, dapat dilihat bahwa partikel dengan jejari yang kecil lebih sulit untuk berkembang karena besarnya vapor pressure yang diperlukan untuk mencapai kondisi kesetimbangan.


Grafik RH vs Diameter Partikel


Nah, di sinilah inti kondensasi yang higroskopis berpengaruh. Ingat bahwa partikel-partikel ini sangat aktif dalam menarik partikel air, sehingga akan dapat membentuk kondisi kesetimbangan pada kelembapan di bawah 100 persen. Umumnya, kondensasi akan terjadi pada kelembapan sekitar 70an persen, dan hal ini menitik beratkan bahwa munculnya presipitasi harus selalu diikuti oleh adanya inti kondensasi yang higroskopis.


Inti kondensasi sendiri tidak akan cukup untuk membentuk presipitasi karena akan memakan waktu hingga berminggu-minggu apabila hanya proses ini yang berlangsung, sehingga pasti ada proses penunjangnya. 2 proses tambahan yang paling diketahui adalah:


A. Kolisi dan Koalesensi


Collision and coalescence process, atau yang dikenal sebagai proses tumbukan dan tangkapan. Proses ini terjadi pada awan yang relatif hangat dengan suhu di atas -15 derajat celsius. 

Proses pertama, yaitu tumbukan terjadi akibat perbedaan terminal velocity, yaitu kecepatan maksimum suatu objek dalam fluida dengan dipengaruhi hanya oleh gaya berat dan gaya gesekan oleh fluida tersebut. Partikel yang lebih besar akan cenderung memiliki kecepatan terminal yang lebih besar sebagai akibat dari gaya berat yang lebih besar, sehingga dalam proses turunnya dapat menabrak dan menangkap partikel-partikel yang lebih kecil dan lebih lambat, dan kemudian akan memperbesar dirinya sendiri.


Proses Kolisi & Koalesensi


Sehingga dapat disimpulkan bahwa besarnya droplets yang jatuh dipengaruhi oleh lamanya partikel tersuspensi di udara, sebab semakin besar lama waktunya, akan semakin banyak waktu untuk menangkap partikel lainnya. Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi proses ini antara lain:

 

  • Ukuran droplets yang ada di awan
  • Ketebalan awan
  • Updraft dan downdraft dari awan
  • Muatan listrik dari droplets dan juga awan, Karena muatan listrik ini dapat membuat droplets memiliki gaya tarik-menarik satu sama lain.


B. Bergeron-Findeisen 


Ice-crystal process, atau yang dikenal sebagai proses Bergeron atau  juga proses Bergeron-Findeisen. Proses ini terjadi di awan dingin, yaitu awan yang bersuhu jauh di bawah 0 derajat celsius. Ingat bahwa tidak diwajibkan untuk seluruh awan memiliki suhu demikian, Karena pada towering cumulonimbus, proses ini juga dapat berlangsung di sana.




Pertama, perlu kita ketahui bahwa pada suhu yang dingin, terdapat partikel air yang tidak membeku, yang dikenal sebagai partikel air superdingin atau supercooled water. Hal ini terjadi karena adanya zat pengotor maupun kurangnya tekanan untuk membentuk es (karena partikel droplets yang sangat kecil). Di sini juga inti kondensasi bertindak, dengan meningkatkan diameter partikel, es akan mulai terbentuk (dalam kasus ini inti  kondensasi dikenal sebagai inti es). 


Proses pembekuan dapat terjadi dengan dua keadaan, yaitu uap air yang bersentuhan dengan inti es secara langsung tanpa melalui fasa cair (proses deposisi), ataupun supercooled water  yang bersentuhan dengan inti es.


Peran si partikel supercooled water ini tidak berhenti begitu saja. Ketika inti es yang sudah menumpuk berinteraksi dengan partikel supercooled water lainnya, kristal es akan terus membesar - proses yang dikenal sebagai proses akresi. Kristal yang membesar dikenal sebagai Graupel atau Snow Pellet. Ketika dalam proses jatuh, graupel ini dapat bertabrakan satu sama lain sehingga membentuk pecahan-pecahan yang lebih kecil. Pecahan-pecahan kecil itu dapat bertabrakan kembali dan saling menempel (proses agregasi). Hasl akhir dari proses ini adalah snowflakes atau salju.

3 Kriteria Stabilitas Atmosfer: Stabil, Tidak Stabil, dan Netral

3 Kriteria Stabilitas Atmosfer: Stabil, Tidak Stabil, dan Netral


Artikel ini menjelaskan tentang 3 Kriteria
Stabilitas Atmosfer, yakni Atmosfer stable,
Atmosfer unstable, dan Conditional stabilitiy



Atmosfer adalah lapisan gas yang menyelimuti bumi. Asal kata "Atmo" memiliki arti sebagai gas atau udara dan "Sphaira" adalah lapisan atau selimut. Lapisan udara bumi ini punya beberapa lapis, berdasarkan suhu ada Troposfer, Stratosfer, Mesosfer, Thermosfer dan Eksosfer sebagai lapisan terluar yang juga bersentuhan dengan luar angkasa. Berdasarkan komposisi ada homogen dan heterogen. Berdasarkan sifat kelistrikan ada Netrosfer dan Ionosfer.


Stabilitas atmosfer adalah kemampuan atmosfer untuk menjaga udara tetap stabil secara vertikal. Hal ini terkait dengan perubahan suhu dan kadar uap air dalam udara, yang mempengaruhi aliran udara vertikal. Stabilitas atmosfer penting untuk mengetahui bagaimana awan terbentuk dan memprediksi cuaca.


1.  Atmosfer Stabil


Atmosfer disebut stabil apabila pada atmosfer tersebut tidak terjadi pergerakan udara vertikal ke atas (disebut sebagai upward movement). Sebaliknya, apabila suatu parsel udara/kolom udara lebih panas dari suhu lingkungan, parsel akan terus naik sampai terjadi keseimbangan dengan suhu lingkungan atau diluar parsel udara, sehingga disebut sebagai kondisi atmosfer tidak stabil (unstable). 


Dalam memahami stabilitas atmosfer, kita memerlukan variabel yaitu Environmental Lapse Rate (ELR). Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut;






Anggaplah ada suatu parsel udara/kolom udara yang kita tinjau yang mengalami gerakan naik, (perhatikan grafik). Ketika udara naik, udara akan mengalami penurunan suhu sebesar 10 derajat untuk laju penurunan adiabatik kering (Dry Adiabatic Lapse Rate) dan 6 derajat per 1000m untuk laju penurunan adiabatik basah (Saturated/Moist Adiabatic Lapse Rate), sedangkan laju penurunan suhu lingkungan (Environmental Lapse Rate) yakni pada 4 derajat per 1000m. 


Penjelasan lengkap tentang adiabatik kering dan basah (DALR dan SALR) dapat kalian akses di artikel berikut: Proses Adiabatik Kering dan Basah: Penentu Stabilitas Atmosfer


Pada ketinggian 3000m, pada kedua kasus diatas, suhu parsel akan selalu lebih rendah daripada lingkungan, sehingga akan terjadi gerakan downdraft atau tidak ada kenaikan parsel udara secara vertikal. Kondisi ini disebut sebagai absolutely stable.


Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa stabilitas atmosfer tergantung pada Environmental Lapse Rate (ELR). Pada atmosfer stabil, laju penurunan suhu lingkungan yang lambat diakibatkan oleh pelepasan radiasi dari permukaan bumi, adanya udara yang melewati daerah dingin, atau suhu daerahnya memang dingin.


2.  Atmosfer Tidak Stabil


Pada kondisi ini, terjadi proses yang sebaliknya dari atmosfer stabil. Pada ketinggian tertentu, suhu parsel udara akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan, sehingga berujung pada kenaikan parsel udara yang terjadi terus menerus. Apabila proses DALR dan SALR dua-duanya berujung pada keadaan yang sama, keadaan ini dikenal sebagai absolute unstability. Prosesnya dapat dilihat pada grafik berikut.





3.  Atmosfer Netral/Conditional Stability


Kadangkala terjadi penyimpangan dari kedua kondisi atmosfer yang telah dibahas diatas, yaitu DALR yang membawa stabilitas tetapi SALR yang membawa instabilitas. Hal ini disebabkan oleh laju adiabatik kering yang lebih tinggi dari laju penurunan suhu lingkungan, dan laju adiabatik basah lebih rendah daripada laju penurunan suhu lingkungan. Artinya laju penurunan suhu lingkungan berada diantara DALR dan SALR.


Keadaan ini dikenal sebagai conditional stability, yaitu stabilitas yang terjadi pada parsel yang kering, namun instabilitas pada parsel yang jenuh.






Rangkuman dari hubungan antara SALR, DALR dan ELR dapat disimpulkan pada grafik berikut. Maksud dari grafiknya adalah ketika laju penurunan suhu lingkungan lebih besar dari laju penurunan adiabatik kering, akan terjadi absolute unstability/kondisi tidak stabil. Ketika laju penurunan suhu lingkungan lebih kecil dari laju penurunan adiabatik basah, akan terjadi absolute stability/kondisi stabil. Ketika ELR berada di antara SALR dan DALR, akan terjadi conditional stability/kondisi netral.





Proses Adiabatik Kering dan Basah: Penentu Stabilitas Atmosfer

Proses Adiabatik Kering dan Basah: Penentu Stabilitas Atmosfer

Artikel ini menjelaskan tentang 2
proses adiabatis.  Dry Adiabatic Lapse Rate
(DALR) dan
Saturated Adiabatic Lapse Rate
(SALR).



Pada postingan kali ini aku bakal jelasin ke kalian tentang dua proses adiabatis yakni Dry Adiabatic Lapse Rate (DALR) dan Saturated Adiabatis Lapse Rate (SALR). Namun, untuk artikel ini aku cuma bakal kasi ke kalian terkait pengertian dan konsepnya saja, di topik selanjutnya baru aku bakal bahas terkait dengan cara hitungnya.


Stabilitas atmosfer didefinisikan sebagai kecenderungan atmosfer untuk memberikan gerak naik (updraft) atau turun (dowdraft) pada komposisinya. Dengan begitu, stabilitas atmosfer dapat dikorelasikan pada keseimbangan sebuah sistem. Perhatikan ilustrasi berikut:




Pada keadaan stable equilibrium, partikel akan cenderung kembali ke posisi semula meskipun telah diberi gaya. Sebaliknya, keadaan unstable equilibrium, partikel akan bergerak menjauh dari posisi semula dengan hanya sedikit gaya. Analogi ini dapat diterapkan pada kondisi atmosfer yang tidak stabil akan memudahkan pergerakan yang kemudian dapat kita observasi sebagai sirkulasi udara.


Di atmosfer, partikel yang kita tinjau merupakan sebuah parsel udara, yaitu udara yang memiliki volume yang kecil dan terbatas oleh batas-batas tertentu. Ketika parsel udara mengalami perubahan elevasi, parsel udara tersebut akan mengalami proses adiabatis, yaitu proses termodinamika yang tidak melibatkan perubahan energi (tidak ada transfer energi antara sistem dan lingkungan).


Proses adiabatik dapat dipahami sebagai berikut!

Apabila kalian memiliki suatu udara dan membawanya ke tempat yang lebih tinggi, tekanan akan berkurang (ingat bahwa tekanan akan sangat tergantung pada gravitasi, gravitasi juga akan berkurang seiring dengan bertambahnya ketinggian). Dengan begitu, volume udara tersebut akan mengembang (karena tidak ada tekanan yang menahan volume udara tersebut). 


Ilustrasi kerapatan molekul udara serta
korelasinya dengan tekanan udara 


Namun, karena prosesnya merupakan proses adiabatik, tidak ada energi luar yang dapat digunakan untuk melakukan ekspansi volume, sehingga parsel udara akan mengeluarkan energi-dalam sendiri untuk melakukan pengembangan volume. 


Pengurangan energi-dalam akan berdampak pada kecepatan molekul yang ada pada parsel udara tersebut, pergerakan molekul pada parsel akan mejadi lebih lambat sehingga turunnya suhu pada parsel. Pada kondisi sebaliknya, tekanan yang tinggi akan meningkatkan kecepatan molekul dan meningkatkan suhu pada parsel tersebut. 


Oleh karena itu, ada hukum dasar pada dinamika atmosfer yaitu parsel yang naik akan mengembang dan mendingin, sedangkan parsel yang turun akan terkompresi dan memanas.



Parsel udara mengembang dan mendingin sebab
kenaikan ketinggian dan terkompresi serta
memanas seiring penurunan ketinggian



Dry Adiabatic Lapse Rate (DALR)

Apabila parsel udara naik atau turun pada keadaan tidak tersaturasi (jenuh), maka tingkat pendinginan ataupun pemanasan adiabatik akan konstan di angka sekitar 10 derajat Celcius setiap 1000 meter, yang dikenal sebagai dry adiabatic rate atau laju adiabatik kering. 


Seiring dengan pendinginan parsel udara, kelembapan relatif akan naik (karena suhu semakin rendah, uap air mudah terkondensasi) dan pada suatu titik, parsel tersebut akan mencapai 100% alias tersaturasi dan proses kondensasi akan dimulai.





Saturated/Moist Adiabatic Lapse Rate (DALR)

Kondensasi merupakan suatu proses eksotermik, sehingga akan melepas panas ke linkungan dan berdampak pada adiabatic rate yang menurun (karena ada tambahan panas), yang kemudian dikenal sebagai saturated/moist adiabatic rate atau laju adiabatik jenuh. 


Dengan begitu, tentunya moist adiabatic rate akan lebih rendah dari dry adiabatic rate. Saturated adiabatic rate juga tidak konstan, karena panas yang dilepaskan tidak konstan. Pada umumnya digunakan 6 derajat per 1000m.


Laju penurunan suhu secara adiabatik kering dan adiabatik basah akan menentukan bagaimana stabilitas atmosfer, dan hal ini adalah proses yang akan menentukan terkait pembentukan awan